Pembebasan tanah untuk keperluan proyek Taman Wisata Candi Borobudur waktu itu sangat meresahkan masyarakat, karena ternyata banyak yang belum paham tentang rencana pembangunan tersebut. Ironinya, sebagian masyarakat yang kurang memahami rencana pembangunan taman wisata itu,  jarang berkumpul dengan warga lain yang selalu mengikuti perkembangan rencana tersebut. Akibatnya, mereka sering menjadi korban para calo.

   Para calo mulai berkeliaran di lingkungan warga sekitar Candi Borobudur. Sasaran mereka pada umumnya adalah masyarakat yang belum menyerahkan tanah dan bangunannya untuk proyek tersebut. Para calo itu, umumnya orang-orang yang sudah menyerahkan tanah dan bangunannya untuk proyek tersebut. Mereka kemudian mengajak sanak-saudara, teman, atau tetangga untuk segera menyerahkan tanah dan bangunannya untuk proyek taman wisata.Mereka juga tidak segan mendatangi rumah-rumah warga yang belum menyerahkan tanah dan bangunan. Bahkan, mereka juga mengaku bagian dari panitia pembebasan tanah untuk Taman Wisata Candi Bororobudur. Bagi warga yang memang masih belum mau menyerahkan tanah dan bangunan, ketika didatangi para calo tersebut, menolak permintaan itu dan kadang menutup rapat pintu rumah, agar calo tidak memasuki rumahnya. Sebagian warga juga memasang tulisan yang isinya menyatakan bahwa tanah dan rumahnya tidak dijual. Semua itu dilakukan untuk menghindari ulah para calo yang sudah meresahkan masyarakat.Ulah para calo tersebut memang nyaris tidak terlihat, karena aktivitas mereka hampir setiap harinya membaur dengan panitia pembebasan tanah.

   Sementara itu, sebagian warga yang lebih tahu perkembangan rencana pembangunan taman itu, justru terkesan tidak mau berbagi rasa dengan warga lainnya yang kurang tahu perkembangan itu. Perkembangan informasi rencana proyek itu, cenderung mereka gunakan untuk kepentingan mencari keuntungan sendiri, misalnya menjadi penyedia material bangunan, pemborong bongkar dan mendirikan bangunan, menyediakan sarana transportasi,  dan penyedia jasa lainnya. Sayangnya, usaha untuk mencari keuntungan sendiri itu, sering dinilai merugikan orang lain. Salah satu usaha yang dilakukan mereka untuk mendapatkan keuntungan sendiri adalah jual beli rumah. Rumah-rumah yang sudah dibeli tersebut, didirikan di pekarangan milik warga yang belum diserahkan untuk proyek.

   Rupanya kerja sama antara pemilik pekarangan dan pedagang rumah itu juga didukung oleh para calo. Mereka kemudian merayu pemilik kebun atau pekarangan agar segera menyerahkan tanah dan bangunan. Setelah tanah dan bangunan berupa rumah-rumah sulapan itu diserahkan untuk kepentingan proyek, kemudian pembeli rumah itu pun membeli kembali rumah yang sudah mendapat ganti rugi tersebut, yang selanjutnya rumah itu didirikan kembali di tempat lain. Ternyata, tidak hanya rumah atau bangunan yang dapat disulap. Akan tetapi tanaman pun bisa disulap. Bibit kelapa atau yang lazim disebut "cikal" dapat berpindah-pindah tempat, karena ulah para calo. Biasanya bibit-bibit pohon kelapa itu, ditanam pada malam hari, namun kemudian siang hari tanahnya diukur oleh panitia. Dan hari berikutnya sudah dapat terima uang ganti rugi bibit. Maka tak heran apabila calo-calo itu kemudian mendadak menjadi jutawan. Praktik calo yang mereka lakukan itu, membuat mereka dapat membangun rumah mewah dan membeli mobil maupun sepeda motor baru.

 

 


 

Post a Comment

أحدث أقدم