Oleh
Sucoro
Penggagas
Ruwat Rawat Borobudur
Kilas Balik Pengelolaan Warisan Borobudur
menjadi penting untuk dilihat kembali, minimalnya sebagai evaluasi atas
pengelolaan warisan budaya Borobudur. Meski disisi lain kesadaran masyarakat
akan pentingnya pengelolaan yang selaras dengan upaya pelestarian warisan
budaya kini sudah mulai nampak. Hal ini dapat dibuktikan dengan semangat para pencinta seni dan budaya Borobudur yaitu
Brayat Panangkaran Borobudur dengan kegiatan tahunannya Ruwat Rawat Borobudur.
Gagasan
penyelenggaraan acara budaya masyarakat Ruwat Rawat Borobudur tercetus
ditengah-tengah konflik pengelolaan Borobudur yang saat itu cukup menarik
perhatian publik yaitu rencana pembangunan pusat perbelanjaan Jagad Jawa. Tujuannya
adalah untuk menata kawasan wisata Borobudur yang dinilai semakin kumuh dan
tidak tertata, yang salah satunya
disebabkan oleh pedagang asongan dan lapak-lapak kaki lima yang makin menjamur
dan tidak teratur. Secara umum, proyek tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki
citra positif Borobudur di mata dunia, sekaligus untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat sekitar.
Perencana proyek lokasi membidik Stadion Kujon untuk mewujudkan Pasar Seni Jagad
Jawa dengan menggunakan tanah seluas 3 hektar. Posisi Stadion Kujon
tersebut tiga ratus meter di sisi barat
Candi Borobudur. Tanah tersebut adalah tanah kas Desa Borobudur.
Di tempat tersebut rencananya
akan dibangun sebuah mall berlantai tiga, lengkap dengan fasilitas umum seperti wartel,
toilet, restoran dan 1500 unit kios – kios untuk menampung pindahan pedagang
dari kawasan Taman Wisata Candi Borobudur. Sebagai sarana angkutan wisatawan
dari Pasar Seni Jagad Jawa menuju
Candi Borobudur dan sebaliknya, akan di sediakan Kereta Wira – Wiri.
Belum diketahui secara pasti berapa dan darimana rupiah yang akan diinfestasikan
untuk proyek besar itu, yang jelas sejak munculnya gagasan tersebut masyarakat
sekitar juga sekian banyak pedagang asong resah. Tidak hanya para pedagang
asong saja namun pemilik warung dan kios di sepanjang jalan Medangkamulan itu
gelisah.
Masyarakat mengetahui perihal rencana tersebut melalui media
masa, namun secara resmi masyarakat sekitar dan para Pedagang merasa belum
pernah diajak bicara meski rencana tersebut akan mempengarui kehidupannya.
Penggagas Proyek besar Jagad
Jawa, Ibu Dr. Wiendhu Nuryati dalam siaran persnya mengatakan bahwa Jagad Jawa merupakan strategi
pengelolaan kawasan wisata yang cukup menarik, dimana para stakeholder yakni
pemerintah daerah, pengelola dan masyarakat setempat dan dunia pariwisata
secara umum akan diuntungkan. Masih menurut perencana Jagad Jawa, bahwa dari namanya pun Jagad Jawa sudah
menunjukan dunianya orang Jawa yang makmur, hingga pemahamannya menggambarkan kebesaran alam raya secara spiritual. Hanya saja mungkin prosedur pendekatan ke masyarakat yang
ditempuh oleh pelaksana proyek Pasar Seni Jagad
Jawa ini yang kurang pas. Termasuk penyusunan konsep yang belum
memperhatikan aspirasi masyarakat sekitar, hingga penggunaan nama Jagad Jawa di salah artikan.
Disisi lain masyarakat pun juga sudah semakin cerdas dengan
mencontohkan proyek lain seperti kegagalan proyek gedung Mandala Wisata di
Brojonalan yang mangkrak. Termasuk
Taman Wisata yang mulai meninggalkan desa – desa sekitarnya hingga keramaian
itu hanya terpusat di zone II dan III hingga akkhirnya banyak pula yang
meragukan keberhasilan rencana pembangunan pasar seni Jagad Jawa tersebut. Apalagi dalam penyusunan konsep perencanaanya
tidak menyertakan masyarakat sekitarnya, jelas masyarakat akan merasa di
tinggalkan.
Kekhawatiran
masyarakat mengenai rencana pembangunan pasar seni Jagad Jawa yang dianggap akan mengancam kehidupanya semakin besar,
karena selama itu pula pembicaraan
perihal rencana tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat. Aksi unjuk rasa dengan demo-demo akhirnya
menjadi ajang ungkapan aspirasinya.
Menurut saya, apa yang disampaikan oleh pedagang
dan masyarakat sekitar itu benar. Persoalan memindah tempat usaha itu bukan
persoalan sederhana dan dapat diatasi hanya dengan waktu singkat, karena hal itu menyangkut mata pencaharian banyak
orang yang telah bertahun – tahun menambatkan penghidupannya melalui sektor pariwisata. Disisi
lain kebesaran ‘ruh spiritual Borobudur’ juga sangat berpengaruh, mengingat
Borobudur merupakan tempat beribadah bagi umat Budha.
Sepertinya membuat kebijakan dan strategi untuk
menentukan rencana pembangunan di lingkungan kawasan Borobudur semakin sulit
karena cukup banyak yang harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan
pengembangan. Sementara ruang-ruang komunikasi dari berbagai pihak tidak pernah
terbangun dengan baik. Oleh karenanya saya melalui Warung Info Jagad Cleguk mencoba menyelenggarakan
pertemuan-pertemuan atau forum. Syukur alhamdulillah hal itu mendapat tanggapan positif
dari banyak kalangan. Mulai dari masyarakat sekitar, Pemda Kabupaten Magelang, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, hingga
Pemerintah Pusat.
Meski bukanlah sebuah kesimpulan yang saya dapatkan
melalui sekian kali pertemuan yang kami selenggarakan, melainkan hanya sebuah
catatan atau notulen, namun bagi saya atau kami dalam pengertian kelompok kecil
ini setidaknya dapat dijadikan sebagai pengetahuan tentang Borobudur. Salah
satunya adalah adanya 3
demensi penting yang tak mungkin lepas apabila kita berbicara tentang Candi
Borobudur yaitu Dimensi Religius, Dimensi Pariwisata dan Dimensi Warisan
Budaya.
Dimensi Religius, karena walau bagaimanapun harus
diakui bahwa Borobudur merupakan peninggalan Dinasti Wangsa Syailendra yang
dibangun sebagai sarana puja atau tempat ibadah Agama Budha. Borobudur
hingga saat ini masih sering digunakan untuk upacara keagamaan, oleh karena itu
keberadaannya harus tetap dihormati. Dimensi yang kedua, bahwa dalam perjalanan
waktu Borobudur sekarang telah dijadikan tempat pariwisata. Namun, kita juga
tidak bisa mengelak bahwa Borobudur merupakan sebuah warisan budaya yang perlu
dijaga dan dilestarikan. Oleh karena itu, peran pemerintah juga sangat penting
untuk menjaga pelestarian warisan budaya bangsa tersebut. Pemerintah harus
lebih dapat berfikir secara arif dan bijak dengan mempertimbangkan segala yang
mempengaruhi dalam memberikan kebijakan terhadap pengelolaan Borobudur yang
sekarang telah digunakan sebagai tempat pariwisata. Meski tak pelak Borobudur
tetap akan menjadi ruang bertemunya ketiga demensi kepentingan yang saling
bertolak belakang tersebut.
Menyikapi persoalan pariwisata dan budaya yang
terus berkembang saya mencoba membuat kegiatan budaya pada saat itu tahun 2003 saya namakan
‘Ruwat Borobudur’. Saya sangat berharap kegiatan budaya tersebut dapat
menjadi ruang komunikasi budaya lintas
apapun.
Awal kegiatan ‘Ruwat Borobudur’ tersebut berjalan lancer. Isu yang menggelora
masih seputar Jagad Jawa. Banyak
warga masyarakat dan para pejabat hadir pada acara yang di selenggarakan
dibawah pohon beringin tua di area dalam Taman Wisata Candi Borobudur. Acara diawali
dengan melakukan ritual bebuli
(menyampaikan sesaji kepada para leluhur) dan melarung miniatur ''rumah'' Jagad Jawa yang diletakkan di atas empat
perahu kertas. Larung sesaji itu dilakukan di Kali Progo oleh ratusan warga
masyarakat dan para pedagang. Larungan sesaji dan miniatur rumah mirip bangunan
joglo, intinya mereka menganggap rencana pembangunan PSJJ (Pasar Seni Jagad Jawa) sebagai tindakan
sewenang-wenang yang menggusur dan merusak citra Borobudur.
Miniatur Jagad
Jawa setelah dilempari batu oleh warga kemudian tenggelam di Sungai Progo.
Sayang aksi tersebut tidak direspon oleh para penggagas PSJJ hingga menjadikan
banyak pihak kemudian terlibat dalam persoalan itu. Salah satunya DPRD Jateng
yang merasa ditinggalkan dalam penggarapan proyek senilai Rp 20 miliar itu. Forum
Arsitek Muda Indonesia juga menolak, termasuk seniman dari berbagai kota juga
terus berdatangan menolak rencana pembuatan Pasar Seni Jagad Jawa.
Pendek kata para tokoh penolak rencana Jagad
Jawa itu beranggapan bahwa Pembangunan Pasar Seni Jagad Jawa hanya pemborosan dana seperti proyek – proyek lain. Aksi
pun terus berlanjut hingga beberapa hari kemudian. Selasa (21-1-2003), warga
menggelar ''Dialog Lintas Jagad''. Dialog yang di selenggarakan di bawah pohon
beringin, halaman Taman Wisata Candi Borobobudur tersebut dihadiri oleh Gubernur Mardiyanto dan
sejumlah DPRD Jawa Tengah serta Bupati Kabupaten Magelang.
Dalam
dialog yang berlangsung santai
dibawah Pohon Beringin itu, hampir semua tokoh dan para stakeholders mendapat waktu untuk menyampaikan pendapat.
Persoalan rencana pembangunan Pasar Seni Jagad Jawa ternyata masih panjang. Setelah
penyelenggaraan Dialog Lintas Jagad munculah forum diskusi bernama ''Memahami
Borobudur dari Seluruh Mata Angin''. Acara tersebut diselenggarakan oleh Suara
Merdeka dan DKJT di Gedung Suara Merdeka Semarang. Dalam Dialog Lintas Jagad
tersebut sempat muncul gagasan dari para peserta yang masih menginginkan living monumen setelah Borobudur
dinyatakan sebagai dead monument tahun
1987.
Berbagai masukan dan kritikan, penolakan terhadap rencana pembangunan PSJJ
terus muncul, meski dengan cara pandang masing-masing. Hingga persoalan Jagad Jawa mulai bergeser dan akhirnya
muncul Tim Mediasi. Diharapakan dari kerja Tim Mediasi dapat merumuskan
konsep rencana pembangunan kawasan wisata Borobudur baik jangka panjang maupun
pendek. Berbagai pertemuan /pedekatan bersama masyarakat terus dilakukan oleh
Tim Mediasi. Tahun 2004, sejak melemahnya rencana pembangunan Pusat Pembelanjaan
Pasar Seni Jagad Jawa yang ramai
disebut Proyek Jagad Jawa muncul gagasan baru dari Tim Mediasi, Yaitu rencana
pembangunan ”shoping street, Desa Tematis dan Meditation corner” atau
Pusat Studi Kebudayaan.
Konsep Desa Tematis
adalah mengangkat sebuah desa untuk sebagai percontohan Desa Wisata di yang ada
di beberapa daerah, namun konsep ini belum sempat disampaikan ke
masyarakat karena kurang mendapat
tanggapan para pemangku kepentingan lainnya.
Tim Mediasi kemudian menyodorkan konsep lagi yaitu Meditation
corner. Konsep itu mulai ditawarkan ke publik. Satu per satu para pedagang
dan masyarakat mulai menilai soal rencana itu.
Pertemuan sosialisasi kemudian diselenggarakan oleh Tim
Mediasi di Desa Ringinputih karena lokasi yang akan dipergunakan adalah tanah
kas Desa Ringinputih yang terletak di Dusun Kanggan.
Dilokasi itu akan di bangun Pendapa joglo, ruang studi
dan informasi, laboratorium, serta fasilitas sarana pendidikan lainnya.
Awal sosialisasi itu berjalan lancar hingga tidak
terbayangkan apabila akan ada orang yang tidak sependapat dengan rencana itu
yang kemudian mengirim surat kepada Gubernur Jawa Tengah yang isinya menolak
rencana pembangunan Sekolah Studi Kebudayaan.
Dengan berakhirnya polemik Meditation cooner, berakhir
pula isu perencanaan pembangunan kawasan Borobudur hasil rumusan Tim Mediasi,
yang semuanya berakhir tanpa bekas.
Borobudur sekarang lebih dikenal sebagai obyek
wisata. Namun kurang dibarengi dengan sosialisasi pelestarian Borobudur sebagai
monumen warisan peradaban dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Sehingga pesan-pesan kebacikan dan nilai–nilai luhur yang dulu diharapkan dapat
di transformasikan ke generasi penerus Bangsa itu tidak sampai. Pengunjung yang
datang ke candi Borobudur lebih melihat Borobudur dan pesona taman yang indah
dan penuh dengan bunga berwarna-warni, meski bunga-bunga itu hanya ada di jalan
masuk menuju candi Borobudur. Tetapi sebutan sebuah taman yang indah dan
asripun terdapat di zona 2. Salah satunya Taman Lumbini yang merupakan padang
rumput dan beberapa pohon peneduh.
Borobudur sejak dikelola oleh Pt
Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan yang kemudian ditambah Ratu Boko dengan
berdasarkan Kepres N0 1 Tahun 1992 ini memang sangat terkesan profit. Zone
tersebut diarahkan khusus untuk aktivitas ekonomi sebagai penunjang pariwisata,
baik untuk pusat dagang, jasa, dan atraksi. Oleh karena itu ide pembangunan
meditation corneer tersebut yang bertujuan untuk memecah keramaian itu sudah
tepat. Meski rencana baik itupun akhirnya juga gagal karena adanya penolakan
oleh sebagian warga masyarakat.
إرسال تعليق