Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam peluncuran Buku " Harmoni Kehidupan Dalam Ruwat Rawat Borobudur ( Foto Warung Info Jagad Cleguk Borobudur )
Oleh
Sucoro
Penggagas Ruwat
Rawat Borobudur
Kerekatan antara seni & ketuhanan, seni
& arkeologi, serta seni & mitos, khususnya dalam candi-candi
dan situs pusaka, merupakan kekayaan budaya yang mengandung berbagai filsafat, pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku
masyarakat masa lalu. Pembentukan suatu tempat suci sangat memperhitungkan
bahwa situs itu adalah tempat yang dapat menghubungkan manusia, alam dan Tuhan
juga efek-efek cahaya, musim, maupun sosial-ekonomi dari daerah tersebut. Oleh
karena itu, candi-candi dan situs pusaka dengan seni, kosmologi, tata ruang dan
mitosnya menyimpan makna dan dimensi yang sangat bernilai karena merupakan
hasil dari tradisi-tradisi serta proses yang begitu panjang dan melibatkan berbagai pengetahuan budaya dan
kepekaan masyarakat terhadap suatu lingkungan budaya. Situs-situs bersejarah
juga mampu menjadi sumber untuk saling belajar dan mengalami berbagai sifat-sifat tata ruang,
waktu dan kondisi yang sekaligus dapat menjadi sumber inspirasi kreatif pada
masa kini.
Kearifan lokal masyarakat yang menghasilkan
monumen Buddhis terbesar di dunia dalam bentuk mandala dengan basis-relief
paling luas pada dinding di setiap tingkatan. Juga pendirian candi-candi lain
disekelilingnya, seperti candi Mendut, Candi Pawon, Candi Ngawen, Candi
Selogriya, adalah cermin suatu proses kehidupan manusia
masa lampau untuk menuju ke keselarasan
sesama manusia dengan alam dan Tuhan hingga pencerahan. Konsep kehidupan masa
lampau menjadi bukti betapa pentingnya kerukunan sesama mahluk.
Salah satu contoh, sebagaimana kita pahami
bersama, ziarah pradaksina di Candi Borobudur adalah bentuk perjalanan
spiritual untuk menjadi mahluk sempurna yang terbebas dari sengsara untuk
mencapai “nirvana”. Mulai dari kaki candi, terdapat relief Karmawibhangga yang
berisi tentang hukum sebab-akibat. Hukum alam yang menjadi premise (pokok pemikiran) utama yang
berlaku bagi siapa pun dan apa pun. “Siapa berbuat kebaikan akan mendapat
pahala, dan siapa berbuat kejahatan akan
menuai petaka”. Dalam konteks “reinkarnasi”, hukum ini memberi pelajaran
tentang “perbuatan baik akan meningkatkan derajat mahluk menjadi semakin tinggi
dalam kehidupan selanjutnya, demikian
sebaliknya”.
Candi Borobudur adalah contoh luar biasa dari
seni dan arsitektur Bangsa Indonesia antara awal abad ke-8 hingga akhir abad
ke-9. Candi Borobudur adalah refleksi khas perpaduan yang harmonisasi antar
kehidupan dengan berbagai macam kepercayaan yang
universal.
Disisi lain, melalui pengetahuan ekologi
tradisional (pranata mangsa, Bahasa Jawa) dimana pemukiman manusia dan
sistem pertanian berdasarkan pada relasi alam, masyarakat lokal diperdayakan
untuk merasa memiliki Candi Borobudur juga candi-candi lain yang ada
disekitarnya. Sekaligus juga masyarakat mampu menghidupi dirinya sendiri dengan
bercocok tanam atau hidup sebagai petani. Meski
dalam perjalanan waktu kini Borobudur telah menjadi obyek wisata dunia, tetapi
sebagian masyarakat tidak semata-mata tergantung dengan adanya pariwisata.
Dengan kehidupan masyarakat sebagai petani, sebagian masyarakat mampu
menumbuhkan sumber daya hidup yang berkelanjutan, mandiri, seimbang, selaras,
dan serasi dengan alam budaya dan
lingkungannya.
Upaya pelestarian
atas nilai nilai budaya peninggalan
Nenek Moyang yang di yakini secara turun
temurun dan mereka lakukan secara
mandiri terbukti cukup efektif dan sangat membantu pemerintah dalam menangkal serangkaian
gejala sosial yang muncul akibat globalisasi.
Selanjutnya, dialog antar komunitas budaya,
antar religius melalui kegiatan Ruwat-rawat Borobudur yang
bertajuk “Jelajah Pusaka“ diharapkan dapat meningkatkan
potensi interaksi berimbang untuk memperkuat persatuan dan Kesatuan Bangsa
dalam bingkai “BHINEKA TUNGGAL IKA“.
Kami sangat berharap, melalui kolaborasi seni
dan budaya yang bersumber dari alam kehidupan masyarakat dan bangunan candi yang penuh dengan makna
kehidupan akan dapat memperkaya sejarah
hidup yang dapat mendukung karya kreatif antar masyarakat tradisional dan
modern yang beragam budaya, suku, ras dan agama termasuk situs
pusaka di seluruh dunia dengan masing-masing mitos dan cerita. Hal ini menarik
untuk membangun inspirasi terkait dengan kualitas budaya
etnik dan untuk menempatkannya di masa kekinian, misalnya
melalui Gelar “Sendratari Kidoeng Karma Wibangga“.
Kidoeng
Karma Wibangga, adalah sebuah garapan sendratari yang mengambil
cerita yang bersumber pada relief yang paling bawah pada candi Borobudur yang
menceritakan tentang hukum sebab akibat. Dengan berbasis kesenian tradisi
masyarakat yang ada dan berkembang di sekitar kawasan Borobudur.
Akhirnya melalui kegiatan RUWAT-RAWAT
BOROBUDUR, kedepan Borobudur akan semakin banyak dikunjungi oleh wisatawan dari
kalangan seniman, budayawan, dan rohaniawan antar religius
dari provinsi yang ada di Indonesia
juga manca negara untuk mendalamkan dan berbagi masing-masing pusaka budaya
yang dimiliki oleh masing-masing wisatawan. Melalui hal itu, pewarisan, pelestarian atas nilai tradisi, yang berbasis pada
kearifal lokal masyarakat akan terus semakin berkelanjutan. Disisi lain
pengembangan Destinasi Pariwisata akan terus berjalan seiring dengan
pelestarian warisan Budayanya.
Dan hari ini, Sabtu
9 Februari Tahun 2019 Alhamdulillah
acara Budaya Masyarakat Ruwat Rawat Borobudur telah memasuki usia ke 16, (Dwi
Windhu). Tentunya dalam menjalankan proses selama 16 tahun tersebut terdapat
kekurangan dan ketidaksempurnaan. Semuanya telah menjadi bagian dari evaluasi
kami untuk perbaikan program agar acara Budaya Masyarakat Kawasan Borobudur
lebih memberi manfaat kepada masyarakat.
إرسال تعليق