Foto Sucoro dalam kegiatan Borobudur Untuk Anak Bangsa Ruwat Rawat Borobudur Mei 2015
Borobudur menjadi obyek ribuan proyek yang memanfaatkan ketenaran warisan masa silam dan kesenjangan sosial ekonomi yang sedang terjadi. Mulai dari pengabdian para mahasiswa yang sedang belajar mempraktekkan ilmu secara bersahaja nan sederhana, belasan dan puluhan dinas teknis pemerintah kabupaten dan propinsi, ratusan jenis proyek pemerintah pusat baik itu kementerian dan lembaga serta BUMN, hingga proyek infrastruktur yang rencananya akan dibiayai hutang luar negeri The World Bank.
Beragam jenis proyek dari luar itu, apakah menyentuh kepentingan dan melibatkan masyarakat lokal hingga lapisan yang paling bawah? Memberi daya bangkit kemandirian ataukah menjadi ketergantungan pada beleid birokrasi yang ruwet pada masing-masing unit pelaksana proyek? Logika siapa proyek-proyek itu dilaksanakan dan atas kepentingan siapa yang paling dominan mendapatkan manfaat, apakah pihak luar ataukan warga Borobudur?
Pertanyaan
diatas seyogyanya dapat dijawab dan diurai dengan perspektif lokal,
dengan logika dan kepentingan lokal warga Borobudur yang menjadi tuan rumahnya.
Memang tidak semua yang lokal mampu mengatasi dan menyelesaikan keruwetan yang
tumpang tindih dan menjadi ruwet bundet diatasnya itu, tetapi berpangkal pada
lokal adalah kesederhanaan, kedaulatan dan kemandirian.
Sosok Sucoro sebagai rakyat kecil yang tergusur
dari proyek pemugaran kala itu. Sucoro muda yang terpinggirkan itu, pernah
berkelana ke berbagai sanggar seni budaya di Yogyakarta. Ia termasuk sosok lama
yang terus berolah seni dan madeg menjadi budayawan yang bekerja di pinggiran.
Sucoro sangat tekun menjadi pengrajin informasi sejak millenium silam, bahkan
sebelum gelombang era informasi melanda dunia dengan “Revolusi Jempol” dan
informasi digenggaman tangan, ia telah sadar info. Tak heran bila kemudian di
era awal millenium ketiga ia merintis Warung Info Jagad Cleguknya.
Borobudur dipugar dan dipagar sehingga pengelolaannya jelas ditangan sebuah BUMN yang memacu pariwisata untuk mendapatkan devisa buat negara. Sementara itu ada Balai Konservasi yang mengurusi pelestarian peninggalan arkeologi candi. Satu candi dengan dua sisi ini terus berproses dengan waktu. Masing-masing menjalankan tugasnya dan tunduk pada peraturan dan kelembagaannya. Sejauh mana kinerja keduanya? Yang jelas jaman telah berubah dan terus akan berubah. Seiring dengan perkembangan pembangunan, didalamnya ada kepentingan ekonomi politik global hingga dinamika warga desa lokal menghadirkan dunia yang semakin datar atau The World is Flat kata Friedman yang merujuk pada meluruhnya hierarki dan jarak ruang dan waktu.
Sucoro memiliki harapan tentang kemajuan
Borobudur yang bisa merembes kepada kesejahteraan masyarakat yang semakin maju,
semakin berkembang menapaki wujud dari suatu makna kehidupan yang layak. Sucoro
yang semakin tua dan rapuh agak pesimis bila lihat kenyataanya sampai saat ini,
harapan untuk perkembangan kawasan Borobudur itu menjadi semakin bias dan tak
terarah, atau bahkan menjadi stagnan. Ia menuliskan istilah
"Stagnan", itu mungkin kalimat yang cocok karena kehidupan masyarakat
yang sudah menjadi irama rutin, seperti mesin pabrik yang semua sudah diatur,
tertata dalam mekanisme kerja politik yang sudah terbaca.
Sucoro semakin sendiri, tetapi ia tak putus
asa. Dikumpulkannya informasi dan mulai menuliskan dan mempublikasikan bukunya.
Ia mengajak teman-teman penulis muda di sekitarnya dan kawan-kawan di luar
Borobudur untuk ikut mewarnai karya bukunya. Dalam pendakian menuju puncak hidupnya,
ia terus berkarya mendokumentasikan peristiwa dari perspektif dan pengalaman
hidupnya.
Sucoro yang diambang senja, kadang-kadang masih menyalahkan diri sendiri: “Mengapa saya harus melibatkan diri dalam proses pergulatan yang serba abu-abu. Dan kenapa pula saya selalu setia dalam mengawal proses ini, bahkan selalu mengabadikan setiap isu yang berkembang, meski hanya memakai kamera foto dan video yang sangat sederhana. Meskipun kadang saya ketinggalan informasi atau mungkin informasi itu kurang lengkap sekalipun, tetap saya catat dalam komputerku yang sangat terbatas ini. Mungkin semua itu saya lakukan kelak akan bermanfaat bagi anak cucu meski hanya sekedar cacatan usang”.
Memaknai Kembali Borobudur
Pengembangan pariwisata
Borobudur dalam pandangan penulis, perlu alternatif yaitu berbasis pengetahuan
dan pengalaman guna menemukan nilai-nilai penghidupan (livelihood/economy), kehidupan (social),
kemanusiaan (human/well-being),
kesemestaan alam (nature) dan
ketuhanan (spiritual). Dalam
kehidupan masyarakat Jawa dikenal Kiblat
Papat Limo Pancer, sebagai pengarah kehidupan manusia. Pariwisata sebagai
lokomotif pembangunan saat ini, memerlukan kompas untuk menuju arah menuju
pembangunan berkelanjutan. Konsep ini sesungguhnya sederhana saja, setiap orang
perlu memahami kemana arah yang dituju, mana jalan yang dipilih, kendaraan
(organisasi) apa yang ingin digunakan.
Pariwisata tidak hanya
perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang berbeda budayanya, tetapi juga
bisa dikemas menjadi perjalanan imajinasi melintas batas waktu masa silam dan
masa depan. Dengan melihat dan menikmati warisan sejarah seperti halnya
Borobudur, wisatawan dapat berkelana dalam perjalanan imajinasi peradaban masa
silam dan merangkai dengan masa kini serta membayangkan masa depan peradaban
manusia. Pariwisata seperti ini meramu kemampuan berbagai pengetahuan dan bukti
penemuan yang diinterpretasi dan dijadikan rangkaian cerita yang menarik.
Pariwisata holistik berbasis
pengetahuan dan dikemas dengan pendidikan ini nampaknya memiliki prospek yang
bagus, dibanding pariwisata yang mengandalkan jumlah kunjungan dan pendapatan
semata.
Borobudur sebagai magnet, memiliki gaya atau kekuatan
sentripetal dan sentrifugal yang harus digerakkan secara sinergis, dinamis dan
harmonis. Bila dua kekuatan pengembangan Borobudur ini digerakkan, maka
kekuatan magnet yang muncul semakin kuat hingga mampu memancarkan energi gerak
elektromagnetik yang bisa ditransformasi menjadi cahaya.
Ditulis
di Kawasan Prambanan dibawah Rembulan Purnama
Malam
Jumat, 22 November 2018
M.
Baiquni
إرسال تعليق