Rencana pemerintah bersama para pemegang saham di perseroan terbatas tersebut, menggunakan tanah warga seluas 87 hektare. Tanah itu berupa tempat hunian dan lahan kosong atau tegalan, meliputi Dusun Kenayan, Ngaran Krajan, sebagian Sabrangrowo, Gendingan, dan Gopalan.
Untuk pembebasan tanah, diatur oleh Keputusan Gubernur Nomor 593/B/265/1980. Surat keputusan tersebut ditetapkan di Semarang pada 18 Desember 1980 Pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur ternyata terus mendapatkan penolakan masyarakat yang akan terkena pembebasan tanah. Mereka beralasan bahwa warga sudah telanjur mencintai tanah kelahiran. Lainnya ada yang beralasan bahwa masih trauma dengan pembebasan tanah sebelumnya yang dirasakan menyengsarakan masyarakat. Mereka yang kehidupan ekonominya telah mapan, merasa khawatir kalau di tempat yang baru justru penghasilan sehari-hari menjadi berkurang. Terlebih bagi mereka yang bermatapencaharian sebagai penderes pohon kelapa. Mereka merasa akan kehilangan mata pencaharian.
Menjawab berbagai persoalan tersebut, Pak Boediardjo mengatakan kepada warga yang mempunyai pekerjaan menderes, akan tetap ditampung karena pohon-pohon yang ada, tak akan ditebang, namun justru mereka akan diseragamkan.
Menurut catatanku, warga yang terkena pembebasan tanah berjumlah sekitar 381 kepala keluarga yang terdiri atas 108 keluarga di Dusun Kenayan, 196 warga Dusun Ngaran Krajan, sedangkan lainnya warga Dusunn Gendingan, Sabrangrowo, dan Gopalan. Harga ganti rugi yang diberikan oleh panitia untuk tanah kelas 1 sebesar Rp7.500 per meter persegi, kelas II Rp 6.000, dan kelas III Rp5.000. Adapun untuk ganti rugi bangunan ditentukan berdasarkan kualitas bangunan, ada yang Rp25.000, namun ada yang sampai ratusan ribu rupiah per meter persegi.
Sosialisasi rencana tersebut terus dilakukan oleh panitia, termasuk pemerintah baik melalui media cetak maupun berbagai pertemuan dengan masyarakat. Warga yang akan digusur kemudian menyatu-kan diri dan membentuk peguyuban "Ngesti Raharjo" sebagai wadah untuk mereka berkumpul. Salah satu hasil kesepakatan warga, yakni memohon bantuan kepada Kelompok Studi dan Bantuan Hukum serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum di Yogyakarta dan Jakarta
Salah satu upaya pendekatan panitia pembebasan tanah yang waktu itu dilakukan oleh Kepala Kantor Agraria Kabupaten Magelang Widoyoko Martowardoyo, Camat Borobudur Gatot Sugiyarto, dan Kepala Desa Borobudur Sarwoto, dengan membuka tempat pelayanan terpadu. Tempat pelayanan itu dibuka di balai desa dan di kediaman kepala desa yang mendatangkan advokat senior, mantan pimpinan LBH Kamal Firdaus. Dia selalu siap menerima layanan konsultasi warga yang akan terkena proyek pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur.
Aku merasakan bahwa janji-janji untuk meyakinkan konsep Taman Wisata Candi Borobudur kepada masyarakat terus dilontarkan. Seperti dikutip dari Majalah Mutiara terbitan 4 Maret 1981, atas pernyataan Pak Boediardjo bahwa nantinya tidak akan berdiri satu hotel pun di area tersebut (Zone II). Yang ada hanya kantor penerangan untuk menyelesaikan keberadaan Candi Borobudur dan kios-kios cendera mata.
Ditandaskan pula oleh Pak Boed bahwa PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan itu, jelas tidak akan berorientasi profit. Kalau toh itu ada, hanya kecil sekali karena perseroan itu harus mengembalikan modalnya kepada JICA. Jadi benar-benar perseroan itu hanya untuk pelestarian Candi Borobudur.
Kepada masyarakat yang berpenghidupan dari berjualan di sekitar candi, akan diprioritaskan untuk menempati kios-kios yang akan dibangun di area taman wisata itu.Demikian pula rumah-rumah warga, nantinya diharapkan bisa dikembangkan menjadi penginapan, untuk menampung wisatawan yang berkeinginan belajar lebih dalam tentang Candi Borobudur sehingga harus menginap.
Untuk itu peran serta masyarakat sekitar sangat diharapkan demi kelestarian monumen peninggalan Dinasti Syailendra itu agar dapat bertahan sampai 1000 tahun lagi.
إرسال تعليق