.
Pemutusal aliran Listrik Jalan-jalan menjadi gelap dan Warga membakar ban bekas . Foto Dok Wr Info
"Saat senja semakin kabur dari jarak pandang. Mengiringi langkah mentari yang kian terbenam. Ketika embusan angin malam menyisir kulit. Menawarkan kesejukan pada gersangnya kulit tubuh. Adakah kesadaranmu, bahwa hidup ini hanyalah persinggahan sementara?" Sering aku merenungkan kalimat itu ketika kesepian. Namun juga, biasanya untuk mengusir kesepian itu, aku menyalakan televisi yang telah mulai ketinggalan zaman, alias kuno. Aku masih ingat waktu itu, 24 Mei. Sambil melihat siaran TVRI Yogyakarta, aku bermain dengan anakku. Tak seberapa lama, istriku datang sambil membawa surat yang masih utuh, belum dibuka. Surat aku terima, ternyata surat tersebut dari PLN Cabang Muntilan. Pokok isi surat tersebut, PLN Cabang Muntilan memberitahu bahwa mulai 1 April 1983, aliran listrik ke sejumlah rumah di Zona II akan diputus.
Listrik memang sudah menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat Dusun Kenayan dan Ngaran Krajan. Bukan hanya karena kebutuhan lampu yang harus menyala pada malam hari, akan tetapi juga untuk alat-alat rumah tangga yang harus digerakan oleh tenaga listrik. Akibat keputusan PLN Cabang Muntilan itu, pada malam hari di Zona II menjadi gelap gulita. Tidak hanya itu, ratusan radio, puluhan televisi, dan tape recorder menganggur, dan anak-anak juga merasa terganggu dalam kegiatan belajar.
Pemutusan aliran listrik memang mengejutkan warga karena dilakukan secara mendadak dan tanpa sosialisasi sebelumnya. Hal itu, memancing emosi sebagian warga. Mereka yang menyikapi pemutusan listrik itu dengan emosi, kemudian membakar ban-ban bekas di tengah jalan besar di depan pasar. Mereka juga melempari dengan batu, kaca-kaca bekas pasar yang belum dibongkar oleh panitia itu. Tak lama berlangsung aksi warga itu, datang polisi. Beberapa warga terus berlarian, kabur, menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Tak ada warga yang tertangkap tangan dan polisi pulang dengan tangan hampa.Sementara itu, puluhan warga Kenayan yang belum menyerahkan hak atas tanahnya, menyikapi pemutusan aliran listrik itu, sebagai persoalan yang kecil. Bahkan warga makin solid, pertemuan-pertemuan terus dilakukan meski hanya dengan penerangan lampu minyak.
Suasana malam yang gelap gulita sejak diputus aliran listrik oleh PLN ke rumah-rumah warga, ternyata tidak menyurutkan semangat mereka yang masih mempertahankan hak atas tanahya. Pertemuan warga untuk menyamakan persepsi terus mereka lakukan, meskipun hanya menggunakan lampu minyak, seperti sentir, teplok, atau petromaks. Berbagai perlakuan terhadap warga yang dirasakan sebagai teror, terus dilakukan oleh panitia melalui pejabat desa, seperti susahnya mengurus surat-surat penting kependudukan.Hal itu terjadi, seperti menyangkut anakku yang ketiga. Ketika istriku mengurus surat kelahiran, ia ditanya oleh pak lurah (kepala desa), "Kenapa kok belum menyerahkan?".Dijawab oleh istriku, "Itu urusan bapak dan suamiku".
Surat kelahiran untuk anakku baru diperoleh ketika dia berumur empat tahun. Bentuk perlakuan lain yang dianggap semena-mena, dirasakan warga, adalah penutupan jalan. Hampir semua akses jalan yang menghubungkan dusunku, Kenayan, ditutup dengan memakai drum-drum bekas yang kemudian dicor dengan jarak yang sangat sempit, sehingga tidak mungkin lagi untuk lewat sepeda.
Warga menyikapi hal itu dengan cukup wajar. Mereka segera kerja bakti membuat jalan terobosan melalui tanah milik warga yang belum diserahkan, di sebelah jalan yang ditutup. Sebagian tanah yang sudah diserahkan kemudian ada yang digali, dengan alasan untuk kepentingan penelitian. Galian-galian tanah itu sering mencelakai warga yang melewatinya. Tak jarang pengendara sepeda motor yang melintas pada malam hari, kecebur di galian. Umumnya mereka tidak tahu kalau ada galian yang cukup dalam di depannya karena memang tidak ada lampu penerangan jalan.
Dan tanda-tanda adanya galian tersebut juga tidak pernah ada, dengan alasan bahwa tanah di sekitar itu sudah ditutup untuk umum.
إرسال تعليق