Sekilas tentang Buku Ajar Kanthi Nalar
                             

Gejala berubahnya struktur sosial dan budaya masyarakat di kawasan Borobudur merupakan upaya adaptasi kolektif kehidupan masyarakat terhadap tantangan lingkungan yang memiliki sifat-sifat dinamis dan pragmatis. Keberadaan Borobudur sebagai warisan budaya dunia yang  merupakan pusaka, pustaka dan pujangga yang semestinya dilestarikan dan dibudidayakan untuk kesejahteraan masyarakat dan karakter bangsa yang membanggakan.

Oleh karenanya ketika kebijakan politik pemerintah pusat memutuskan bahwa Borobudur dijadikan kawasan wisata dan pariwisata, Borobudur sebagai warisan budaya hanya dipahami pemanfaatannya secara fisik dengan mengabaikan pelestarian nilai spiritualitas yang terdapat pada pemajuan kebudayaan. Spiritualitas dipahami sebagai spirit, potensi Borobudur yang memberikan kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi pelestarian nilai hidup dan kehidupan.  Untuk itu buku ini mencoba memotret budaya masyarakat sekitar Borobudur dan mencoba belajar darinya melalui Ajar Kanthi Nalar. Sehingga hadirnya buku ini dapat memberikan informasi pentingnya bagaimana spiritualitas Borobudur itu ada.

Judul Buku : AJAR KANTHI NALAR

Penulis: Sucoro _ Novita Siswayanti

Editor : Amat Sukandar, Eri Kusuma

Prolog : Dr Daud Aris Tanudirja

Ipylog  : Dr Idham Setiaji

Penerbit : Warung Info Jagad Cleguk

Ukuran :  135 X 200 MM ( A5 )

Kertas cover : ArtPeper 260 gr

Halaman: 296 . 37

Warna Isi : 1/1 ( Hitam Putih )

Warna Cover : 4/0 ( Warna )

Jilid     ; Perect

 

 

 

                              AJAR

KANTHI NALAR

Oleh

Sucoro & Novita Siswayanti

Editor: Eri Kusuma Wardhani

Amat Sukandar



 

AJAR KANTHI NALAR

Oleh

Sucoro & Novita Siswayanti

 

Cetakan Pertama, Januari 2023

 

Editor:

  

Desain Cover

dan Lay-out:

Eri Kusuma Wardhani

Sapto Nugroho

 

Penerbit:

Warung Info Jagad Cleguk

 

Jl Medangkamolan 7 Borobudur

Email. Ruwatrawat Borobudur@gmail.com

ISBN ………………………           



DAFTAR ISI

Daftar Isi                                                      Hal      5

 

Bab 1

Tentang ajar kanthi Nalar

                        

Pengantar Buku Ajar Kanthi Nalar           Hal    11

Prolog Oleh Dr Daud Aris Tanudirjo

Memaknai Borobudur Dengan Nalar

Dan Hati                                                         Hal   17

 

Bab 2

Penamaan Desa/Dusun sebagai Prasasti Sosial

 

Penamaan Desa/Dusun disekitar

Candi Borobudur                                      Hal     30

 

Bab 3

Spiritualitas Dalam Tradisi Masyarakat Borobudur

 

Moderasi Beragama pada Peringatan

1 Suro di Borobudur                                Hal     56

Malam Satu Suro bersama Brayat

Panangkaran Borobudur                           Hal 62 Peringatan Satu Suro dan Ruwat              

Rawat Borobudur                                      Hal    68

Spiritualitas Jawa pada Tradisi Sunatan  Hal    73

Spiritualitas Borobudur

Di Desa Tajuk Purbalingga                        Hal    87

Spiritualitas dalam Kesalehan Sosial        Hal    90

Spiritualitas Jawa di Pasar Kiringan         Hal    97

Spiritualitas pada Tradisi Sadranan          Hal 105

Gelar Budaya Wanurejo                              Hal 111

Spiritualitas Parantoro dalam

Membangun Desa                                        Hal 114

Spiritualitas dalam Tradisi

Pelestarian Alam                                        Hal  120

 

Bab 4

Kreatifitas Masyarakat Dalam Memanfaatkan Borobudur

 

Kopi Potorono                                            Hal  131

Sekilas dari Sarasehan Budaya

Pada Closing Acara 20 Tahun

Ruwat Rawat Borobudur                         Hal  138

Nguri-uri Budaya melalui Festival

Kesenian Rakyat Pasedhuluran                Hal  148

Peran Pemuda dalam Pembangunan

Dusun Nerangan Desa Mangunrejo          Hal  155

Pandemi Memendam Ide                          Hal  161

Peran Pemandu Wisata dan

Pemanfaatan Borobudur                          Hal  169

 

Bab 5

Aktualisasi Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Borobudur

 

Perjalanan Evaluasi RRB 13 Juni 22         Hal  181

Audensi Ruwat Rawat Borobudur

Borobudur ke Jakarta 22 Agustus             Hal  189

Menghidupkan Spiritualitas Ekonomi

Melalui Balkondes                                      Hal  196

Peran Partisipasi Masyarakat dalam

Menyukseskan Borobudur sebagai

Destinasi Wisata                                          Hal  208

Spiritualitas Jawa dalam

Pemanfaatan Bukit Sikepel sebagai

Destinasi Wisata                                             Hal  215

 

Bab 6

Inti Sari

 

Borobudur sebagai Pusat Spiritual           Hal  225

Nilai/Value Borobudur Dalam

Pengembangan Pelestarian Pemajuan

Kebudayaan                                                Hal  237

 

Bab 7

Sumbang Sih

Sekilas Pengalaman menjadi Guide          Hal  244

 

Bab 8

Sekilas Kegiatan 20 Tahun Ruwat Rawat Borobudur                            

 

Urip Iku Urup Dalam 20 Tahun

Ruwat Rawat Borobudur                          Hal  280

 

Bab 9

Penutup

Epilog                                                                 Hal  287

 

 

Pengantar Buku

Ajar Kanthi Nalar

                         Sucoro Februari 2022

Gejala berubahnya struktur sosial dan budaya masyarakat di kawasan Borobudur merupakan upaya adaptasi kolektif kehidupan masyarakat terhadap tantangan lingkungan yang memiliki sifat-sifat dinamik. Keberadaan Candi Borobudur merupakan warisan artefak pusaka Budaya nenek moyang bangsa Indonesia.

Perubahan tersebut menggambarkan bahwa tumbuhnya peradaban di abad 8 Masehi telah ada, serta menjadi pusat penghidupan dan kehidupan masyarakat secara turun temurun di kawasan Borobudur yang meliputi hampir di semua aspek kehidupan, antara lain; geografi, demografi, sumber daya alam, idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya.

Oleh karenanya ketika kebijakan politik pemerintah pusat memutuskan bahwa pasca restorasi/purna pugar Candi  Borobudur tahap ke dua selesai maka memutuskan bahwa Candi Borobudur dijadikan kawasan wisata. Kebijakan tersebut berlanjut secara terus-menerus hingga industri pariwisata berkembang dengan pesat, mengubah alam dan lingkungan yang sebelumnya menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat, beralih ke Pariwisata.

Meski saya dalam pengertian pribadi bersama sebagian masyarakat pada awalnya menolak, karena saya menduga bahwa mengubah pola penghidupan sosial masyarakat tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi tidak terdukung persiapan konsep, mustahil akan berhasil. PT Taman Wisata Candi Borobudur saat itu, yang ke depan akan mengelola warisan Budaya Borobudur di tahun 1980-an, pada saat sosialisasi tidak terlihat adanya tanda-tanda menyiapkan konsep pemberdayaan masyarakat sekitar. Oleh karena itu saya menentang rencana besar tersebut.

Berkait dengan peran partisipasi masyarakat yang memang sejak awal perobahan kebijakan pengelolaan Borobudur tidak pernah terlibat, maka kami mencoba memperjelas peran sertanya dengan maksud untuk mengawal proses perkembangan upaya pelestarian serta pemanfaatan warisan Borobudur. Dengan mengadakan kegiatan Budaya Rakyat bertemakan Ruwat-Rawat Borobudur yang telah kami  selenggarakan secara terus menerus selama 20 Tahun hingga pada Tahun 2022. Tidak banyak yang dapat kami persembahkan untuk masyarakat.

Alhamdulillah selama penyelenggaraan acara  Ruwat Rawat Borobudur tersebut kami telah mampu membangun kembali berbagai acara tradisi masyarakat serta berbagai kegiatan lainnya. Kami juga telah mampu menyajikan buku yang pertama berjudul Dari Luar Pagar Taman Borobudur; Kedua Bumi Karma Borobudur; ketiga Harmonisasi Kehidupan Dalam Ruwat Rawat Borobudur; keempat Imajinasi Peradaban Borobudur dari Masa Ke Masa; sedangkan kelima berjudul Sinau Maca Kahanan. Melalui kegiatan tersebut kami mencoba belajar membaca alam, serta mencermati apa yang telah dilakukan oleh pendahulu kita dalam “ulah laku spiritual yang dijalani bertahun-tahun tersebut menjadi kenangan yang abadi

Penulisan pada buku berjudul AJAR KANTHI NALAR ini merupakan hasil penelitian di lapangan. Serta wawancara yang terencana, dengan memilih responden baik dari jajaran aparatur pemerintah daerah, swasta, maupun masyarakat setempat, secara terbuka dan mendalam, serta rangkuman dari berbagai diskusi-diskusi yang berhubungan dengan prasasti-prasasti sosial yang masih ada di kawasan Borobudur serta Daerah Kabupaten Kota lainnya. Semua informasi tersebut kami dapatkan melalui berbagai rekaman peristiwa budaya rakyat pada acara Ruwat Rawat Borobudur selama 20 Tahun. Kemudian kami diskusikan kembali dan kami simpulkan berdasarkan penalaran dan logika yang ada hingga menghasilkan tulisan pada buku  ini.

Penulisan ini dilakukan untuk lebih meng analisis dan mengkritisi perkembangan representasi serta refleksi dinamika sosial budaya kawasan wisata Borobudur, sehingga dapat menemukan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan pembangunan masyarakat bangsa dan negara.

Alhamdulillah pada tahun ini, pada acara Perayaan 20 Tahun Ruwat-Rawat Borobudur, kami mendapat dukungan dari saudari Novita Siswayanti MA Peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang berkenan mengadakan penelitian perihal kegiatan kami Ruwat Rawat Borobudur. Serta kebetulan ada kesamaan pendapat dengan Sdr Nurochmad warga asli Dusun Kenayan Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, yang sehari-hari bekerja sebagai guide (Pemandu Wisata) di Taman Wisata Candi Borobudur. Untuk itu kami bersepakat untuk bekerjasama menyajikan Buku bertemakan ‘Ajar Kanthi Nalar’ ini.

Hasil penulisan secara komprehensif, integral dan holistik, menggambarkan bahwa pentingnya mencermati sumber daya alam serta sumber daya budaya menjadi sumber inspirasi kebudayaan masyarakat, yang sepengetahuan kami telah dipotong oleh kapitalisme industri yang selama ini menganggap bahwa alam dan budaya tradisi serta prasati social masyarakat hanya sebagai komoditi (barang dagangan),

Menurut pengamatan kami, besarnya hasil dari penjualan sumber daya alam dan budaya tersebut menurut kami selama ini belum cukup untuk memperbaiki atas kerusakan sumber daya tersebut. Di sisi lain dampak kerusakan tersebut tidak hanya merusak sistem hubungan manusia, alam dan Tuhan. Namun  kemudian merubah kawasan dan komunitas budaya tersebut secara keseluruhan menjadi kompleks.

Totalitas kultural yang terpisah-pisah oleh proses yang terus berlangsung dalam sistem industri pariwisata itulah, kemudian melahirkan transformasi sosial budaya, dalam hal ini adalah kasus di kawasan wisata Borobudur. Kasus di kawasan Borobudur menyatakan bahwa proses itu memang terjadi perubahan ekosistem antara lain yang semula lahan pertanian, perkebunan, permukiman penduduk, sebagian kawasan hutan, serta budaya adat, tradisi masyarakat kemudian dipacu menjadi bagian dari industri pariwisata. Lahan pertanahan berubah menjadi kawasan industri pariwisata, perhotelan, homestay, perdagangan, perkantoran, sarana transportasi, dll. Adat tradisi dan budaya masyarakat menjadi ukuran sukses dari program Pemberdayaan yang dilakukan oleh penyumbang atau donatur.

Belajar dari kasus Borobudur, kami mencoba menggarisbawahi berbagai persoalan yang muncul pada kawasan Borobudur adalah diperlukan senergi multipihak. Dengan demikian suatu daerah baik di dalam maupun di luar negeri bila dijadikan kawasan wisata, di mana pun daerahnya tidak bisa dihindari akan terjadi proses-proses transformasi ekosistem maupun komunitas masyarakat di kawasan wisata menjadi lebih kompleks sehingga masyarakatnya berkelas-kelas, seperti yang terjadi di Borobudur

 


PROLOG

Memaknai Borobudur dengan Nalar dan Hati

Beberapa saat terakhir ini, Kawasan Cagar Budaya Dunia Borobudur kembali menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat luas. Isu yang paling banyak mendapat perhatian tentu saja adalah rencana kenaikan harga tiket untuk naik ke candi utama Borobudur yang dianggap keterlaluan mahalnya. Alasannya memang tampaknya mulia meskipun klise: “untuk melestarikan bangunan candi”.Caranya, dengan mengurangi kunjungan yang selama ini berlebihan, sehingga dapat mengakibat kan dampak buruk bagi warisan dunia itu.

Pertanyaannya,mengapapengurangan kunjungan itu begitu melonjakkan harga tiket naik? Jawabannya tidak sulit ditebak, karena Candi Borobudur lebih dilihat sebagai modal pariwisata oleh pengelola. Tambang tempat menaguk keuntungan finansial semata. Artinya, berkurangnya kunjungan harus dikompensasi dengan kenaikan tarif agar pemasukan setidaknya tetap sama. Itulah nalar materialisma yang jauh dari nilai-nilai luhur yang dipesankan oleh Candi Borobudur itu sendiri, yaitu menghindarkan karma jelek manusia (Karmawibhangga) dengan meninggalkan ikatan materialistik nafsu keduniawian (Rupadhatu) untuk menuju kesadaran pikir dan hati bersih (rupadhatu) yang mencerahkan dan menyelamatkan jiwa.

Kebijakan tarif itu sekali lagi telah membuktikan bahwa selama ini pihak-pihak yang diberi amanah mengelola Candi Borobudur telah gagal memaknai warisan dunia itu dengan nalar yang jernih dan hati yang bersih, sehingga nilai universal luar biasa kompleks candi itu tidak dapat dipahami dengan tepat.

Dalam konteks itu, judul buku kumpulan tulisan yang barangkali tampak sederhana ini tentu (semestinya) menghenyakkan. Ajar Kanthi Nalar (belajar dengan nalar). Sontak ironi itu menjalar di lidah rasa hati ini. Betapa kontrasnya, ternyata justru masyarakat yang seringkali tersisihkan dalam pengelolaan Kawasan Borobudur itulah yang mampu menangkap makna Borobudur yang sebenarnya! Tempat belajar, mendidik, dan mengasah nalar. Bukan semata tempat untuk bersenang-senang, berwisata hura-hura, berfoto ria, dan menaguk keuntungan atau devisa. Sesungguhnya, nilai-nilai edukasi itulah yang disandang oleh Candi Borobudur sejak didirikan hingga diakui menjadi warisan dunia. Mungkin, kebersihan hati dan kejernihan nalar itu yang memungkinkan masyarakat lebih mampu menghayati secara tepat hakekat kehadiran Kawasan Borobudur sebagai warisan dunia.

Ajar kanthi Nalar mencoba memotret sejumlah kasus dan pengalaman yang dialami oleh masyarakat sekitar Borobudur dan bagaimana mereka mencoba belajar darinya. Ekspresi dari pengalaman empiris yang ingin dicerna dengan nalar mereka sendiri secara merdeka. Lepas dari doktrin, pakem, dan rambu-rambu yang selama ini seringkali dipaksakan oleh mereka yang menganggap dirinya sebagai otoritas di bidang warisan budaya. Entah itu akademisi, pengelola, atau penguasa. Bisa jadi, bagi otoritas yang sudah terlajur “mapan”, tulisan dan cara nalar yang disajikan dalam buku ini dianggap kurang rasional, sekedar mereka-reka (othak-athik-gathuk), atau malah mengada-ada. Namun, semua itu adalah kenyataan yang dirasakan dan dipikirkan oleh komunitas setempat di akar rumput, yang tidak boleh diremehkan sama sekali. Janganlah dipermasalahan dulu tentang “benar” atau “salah”, karena siapa pun sehebat apa pun bisa salah. Sebaliknya, semua itu harus dipertimbangkan sebagai informasi dan pandangan “lain” yang seharusnya dapat memperkaya khasanah pengetahuan kita tentang Kawasan Borobudur. Lagipula, semua itu adalah wujud kesadaran masyarakat bawah yang selalu bersedia untuk terus belajar dari kahanan (keadaan) mereka. Bukankah itu adalah hakekat pesan Borobudur yang disampaikan melalui lakon tokoh Sudhana dalam relief Gandawyuha? Belajar, belajar, dan belajar agar mencapai nalar yang benar dan mendapatkan pencerahan. Ajar kanthi nalar! Suatu proses yang kadang tidak lagi mampu dilakukan oleh mereka yang merasa sudah mapan dan kuasa.

 Sesungguhnya pemaknaan suatu warisan budaya oleh komunitas setempat bukan hal yang baru. Di banyak negara lain, fenomena itu telah muncul dengan kuat sejak dasawarsa 1980-an. Dalam dunia arkeologi, gerakan ini disebut antara lain sebagai Arkeologi “pribumi” (indigenous, native, first nations), atau Arkeologi Komunitas (community, minority). Gerakan ini menguat ketika semakin disadari bahwa warisan budaya dapat memiliki makna berbeda-beda menurut setiap pihak yang mengaitkan diri dengannya. Warisan budaya tidak lagi dilihat dari sudut materialisma, yaitu sebagai benda-benda, baik itu yang disebut landskap, situs, bangunan, artefak, dan tinggalan arkeologi lainnya. Warisan budaya lebih dilihat sebagai suatu proses pemberian makna yang dinamis. Suatu aksi untuk memaknai dengan beragam cara, seperti mengingat, memperingati, merawat, meruwat, dan meneruskan kepada generasi berikutnya. (Smith, 2011). Warisan budaya juga merupakan proses negosiasi antar berbagai pihak untuk menentukan bagaimana warisan masa lalu itu akan dapat dimanfaatkan di masa kini dan mendatang (Shackel, 2004).

Dengan memahami hal itu, terbitan berjudul Ajar Kanthi Nalar ini dapat dilihat sebagai pernyataan strategis masyarakat yang menunjukkan keberpihakan mereka dalam memaknai Kawasan Borobudur sebagai tempat pendidikan. Bukan semata-mata tempat berwisata, tetapi tempat belajar tentang segala aspek kehidupan dan lingkungan alam. Jika pun untuk wisata, tentu adalah wisata yang benar-benar mendidik.

Ajar kanthi nalar semestinya semakin menyadarkan para praktisi, penggiat, dan pengelola warisan budaya, bahwa makna warisan budaya tidak dapat direduksi oleh batasan dan kriteria yang ada dalam perundang-undangan. Apalagi, perangkat perundang-undangan yang masih saja memberikan otoritas penentu makna hanya pada sekelompok orang saja (tim ahli cagar budaya). Ini adalah bentuk nyata dari apa yang disebut sebagai Authorized Heritage Discourse (AHD) yang sudah mendapatkan kritik tajam dan luas di dunia (Smith 2015). Cara pikir AHD selalu mengasumsikan: ada para ahli yang lebih tahu tentang makna yang paling layak untuk disematkan pada suatu warisan budaya. Karena itu, jarang di antara “para ahli” itu yang mau bertanya kepada masyarakat tentang apa makna warisan budaya bagi masyarakat. Padahal, bukankah masyarakat adalah pemilik sah dari warisan budaya itu? Warisan Budaya adalah milik semua dan semestinya untuk semua juga. Karena itu, masyarakat menjadi pihak yang paling berhak memaknai warisan budaya itu (baca Tanudirjo, 2003).

Pemaknaan masyarakat yang mungkin saja berbeda dengan para ahli tidak lantas dapat begitu saja dinyatakan salah. Karena, kebenaran tidak lagi dapat didaku oleh otoritas tertentu saja. Pemaknaan masyarakat adalah ekspresi penghayatan mereka terhadap pengetahuan, pengalaman, perasaan, dan pemahaman mereka terhadap warisan budaya mereka sendiri. Pemaknaan yang berbeda adalah bagian dari apa yang disebut sebagai keragaman suara (multivocal) yang justru menjadi salah satu idaman bagi praktek arkeologi kini (Hodder, 1999). Bahkan, kini arkeologi tidak lagi tunggal (archaeology), tetapi menjadi beragam arkeologi (archaeologies). Artinya, penafsiran arkeologi pun berbeda-beda tergantung pada sudut pandang penelitinya (Wobst, 2010). Keragaman suara tidak harus ditafsirkan sebagai perbedaan sebagai produk subyektivitas ego tertentu, tetapi justru harus menjadi penguat makna secara keseluruhan. Semakin banyak makna yang dapat diaktualisasikan akan semakin kuat pula nilai-nilai kemanfaatan yang didapatkan. Karena itu, apa pun hasil pemaknaan oleh masyarakat tetap perlu untuk diakomodasikan dalam setiap upaya pelestarian warisan budaya.

Pemaknaan oleh komunitas setempat, menurut pengetahuan, pengalaman, nalar dan perasaan mereka sendiri, kadang juga disebut sebagai wujud nyata dari proses dekolonisasi (Atalay, 2010). Pemaknaan kembali yang dilakukan komunitas setempat adalah alternatif tafsir yang seakan dibebaskan dari pandangan dan nalar “asing” yang selama ini justru mendominasi makna warisan budaya yang ada. Meskipun harus diakui bahwa pemaknaan oleh komunitas setempat pun tidak selalu harus dianggap yang paling benar. Namun, setidaknya pemaknaan itu melibatkan cara pikir, konsep-konsep, dan situasi budaya setempat yang tentunya lebih akrab sebagai konteks warisan budaya itu. Karena itu, sesungguhnya dibutuhkan keterlibatan dan kerja bersama antar komunitas setempat dan para praktisi pelestarian warisan budaya untuk dapat memberikan pemaknaan yang tepat untuk masa kini dan mendatang. Sayangnya, proses kolaboratif dan partisipatoris justru jarang terjadi di Kawasan Borobudur, karena tampaknya para otoritas masih sulit melepaskan kuasa dan kemapanannya untuk terjun dan memahami apa yang ada di akar rumput.

Hubungan dialogis harus terus dikembangkan di antara semua pihak yang peduli terhadap warisan budaya, termasuk Kawasan Borobudur yang telah menjadi warisan budaya seluruh umat manusia. Pihak-pihak yang selama ini merasa menjadi “otoritas” tidak selayaknya selalu mengasumsikan perlunya “pemberdayaan” masyarakat setempat, tetapi juga harus mau dan mampu “memberdayakan” dirinya dengan belajar dari komunitas setempat. Tidak jarang terjadi “otoritas” yang diberi kuasa mengelola Kawasan Borobudur justru tidak menangkap spiritualitas warisan budaya ini sebagaimana yang dirasakan langsung oleh Pak Sucoro dan teman-teman yang aktif dalam forum Jagad Jleguk dengan Rawat-Ruwatnya yang sudah eksis tidak kurang dari 20 tahun lamanya. Sementara otoritas pengelola memaknai Kawasan Borobudur lebih materialistik sebagai komoditas wisata, komunitas setempat yang dikoordinasikan Pak Sucoro justru mampu menghayati kharisma spiritualitas warisan budaya itu. Hal itu jelas terbukti dalam Ajar Kanthi Nalar, yang sarat dengan ekspresi spiritualitas yang hadir di Kawasan Borobudur.  Spiritualitas yang layak menjadi bahan ajar bagi kita semua. Sesederhana apa pun itu.

 Memang kini sudah saatnya, Kawasan Borobudur dengan beragam warisan budaya dan masyarakatnya harus dikembalikan kepada fitrah nya, yaitu tempat belajar dan pendidikan. Tempat kita semua saling asah dan asuh. Barangkali Pak Sucoro dan komunitas setempat lainnya bukan apa-apa dalam struktur birokrasi pengelolaan Kawasan Borobudur. Namun, mereka terbukti lebih peka dan lebih cakap menangkap fitrah Kawasan Borobudur, sebagai tempat belajar.

Ajar kanthi nalar. Ya, belajar dengan nalar (dan hati) di tengah masyarakat Borobudur. Di Kawasan Borobudur yang diakui memiliki nilai-nilai universal luar biasa ini, tidak semestinya kita merasa malu untuk saling belajar, dari siapa pun dan dengan siapa pun. Karena, memang fitrah kawasan ini adalah tempat belajar dan merefleksi diri. Harapannya, agar kita bisa memaknai warisan dunia Borobudur dengan hati lebih bersih dan pikiran lebih jernih. Seperti kisah Sudhana yang dipahatkan di dinding-dinding Candi Borobudur. 

 

Daud Aris Tanudirjo

Atalay, Sonya. 2010. “Diba Jimooyung” – Telling Our Story: Colonization and Decolonization of Archaeological Practice from an Anishinabe perspective, dalam Lydon, J. dan U.Z. Rivki (eds.), Handbook of Post-Colonial Archaeology. Left Coast Press. Hlm. 61 - 72

Hodder, Ian. 1999. Archaeological Process: An Introduction. Wiley-Blackwell.

Shackel, Paul. 2004. Working with Communities: Heritage development and Applied Anthropology, dalam Shackel, P.A. dan E.J. Chambers (eds), Places in Mind: Public Archaeology as Applied Anthropology. Routledge. Hlm. 1 – 16.

Smith, Laurajane. 2011. All Heritage is Intangible: Critical Heritage Studies and Museums. Reinwardt Academy.

Smith, Laurajane. 2015. Intangible Heritage: A challenge to the authorized heritage discourse. Revista d’Etnologia de Catalunya Juny 2015, no. 40, Hlm. 133 – 142.

Tanudirjo, Daud A. 2003. Warisan Budaya untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang, makalah disampaikan dalam Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi, Sumatera Barat 19 -23 Oktober 2003.

Wobst, Martin H. 2010. Indigenous Archaeologies: a World Perspective on Human Materiality and Human Right,dalam Bruchac,M.M., S.H. Hart, dan M.H.Wobst (eds.), Indigenous Archaeologies. Left Coast Press. Hlm. 17-28.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Post a Comment

أحدث أقدم