kelahiran anak manusia yang diharapkan oleh orang tuanya menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat luas.
Satu kutipan tembang "Mijil", "Dedalane guno lawan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah luhur wekasane…".
Petikan syair tembang itu menggambarkan tentang jalan kehidupan dan harapan seseorang. Agar anaknya berbakti terhadap kedua orang tuanya dan mempunyai kemampuan serta kecerdasan dalam menentukan sikap dalam menjalani kehidupan.
Pemaknaan tersebut sebagai pengingat akan hakikat manusia, bahwa tujuan hidup bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu mempersiapkan bekal guna "kehidupan" setelah mati dan melakukan sesuatu yang bermakna selama hidup di dunia. Menjadikan kehidupan yang bermakna pun memberi manfaat untuk kehidupan masyarakat pada umumnya .
Sakti dalam pengertian cerdas atau pandai, boleh jadi ditafsirkan sebagai memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan. Dengan kapasitas dan potensi yang dimiliki, dan juga sebagai seseorang yang percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, "kesaktian" yang dimiliki menjadi bagian dari ibadahnya kepada Allah SWT.
Namaku sering disebut dengan penuh rasa hormat oleh masyarakat sekitar. Aku dikenal sebagai orang yang suka rekayasa. Mungkin itu nama yang cocok dengan nama pemberian bapakku, ketika bapakku, Setrowikromo, memberikan nama itu untukku
Menurut bapakku, nama merupakan bagian yang sangat penting ketika ibu mulai hamil. Untuk memilih nama yang baik bagi calon bayi yang akan lahir, calon orang tua biasanya akan melakukan tirakat atau puasa. Karena nama yang baik itu, juga akan memberikan pengaruh yang baik pula kepada setiap orang, bahkan Nabi kita juga menganjurkan untuk memberikan nama kepada anak kita dengan nama yang baik dan penuh makna, agar kelak anaknya memiliki identitas yang indah dan penuh makna.
Akhirnya bapakku memberi nama untukku, "Sucoro". Sucoro, berasal dari "Su" yang artinya baik dan "Coro", artinya cara atau reka. Tentu maksudnya cara yang baik atau rekayasa untuk kebaikan.
Nama yang diberikan bapak untuk aku, ternyata memberikan keberuntungan. Menurut teman-teman, namaku mudah diingat. Apalagi pekerjaan yang aku jalani saat ini sebagai agen dan sekaligus loper koran. Jadi, banyak orang memangilku Pak Coro Koran.
Sejak 2003 sebutan orang terhadap aku bertambah, karena pada tahun itu aku mendirikan pusat informasi masyarakat yang aku namakan Warung Info Jagad Cleguk. Masyarakat pun memanggilku Pak Coro Warung Info.
Ketika aku duduk di bangku taman kanak-kanak, guruku bertanya, "Apa cita-citamu?”. Kemudian aku menjawab dengan lugunya, "Jadi guru Bu". Teman-temanku ada yang menjawab, "Jadi menteri", "Jadi presiden", "Jadi pemain bal-balan". Mereka bersaut-sautan menjawab pertanyaan Bu Guru itu.
Sungguh lugu dan lucu waktu itu. Semua cita-cita yang diomongkan teman-temanku adalah pekerjaan yang dapat dibilang waktu itu sebagai tanda hidup sukses.
Presiden salah satu jabatan tertinggi di negeri ini, bahkan sebutan presiden terus melekat walaupun sudah tidak menjabat lagi. Sebut saja mantan Presiden Soekarno, mantan Presiden Soeharto. Semua nama itu, pasti ada embel-embel "presiden".
Dokter juga merupakan salah satu profesi yang langka saat itu, karena seorang dokter hanya berada di ibu kota kabupaten. Biasanya petugas medis puskesmas di tingkat kecamatan hanya ada mantri atau perawat .
Aku masih ingat betul letak Puskesmas Borobudur sekitar 150 meter sebelah timur kaki Candi Borobudur. Puskesmas tersebut dipimpin oleh seorang mantri kesehatan yang dikenal masyarakat waktu itu sebagai Supardi atau Pak Pardi. Pak Pardi dikenal masyarakat tidak hanya karena profesinya sebagai mantri kesehatan, akan tetapi juga karena hobinya main drama.
Untuk berprofesi sebagai dokter, orang harus menjalani sekolah kedokteran. Sayangnya untuk menjadi dokter, butuh biaya pendidikan yang tak sedikit alias mahal banget.
Saat itu, aku sempat bertanya kepada Pak Dokter Syahir yang buka pratik di kediaman Bapak Lurah Achmad di depan Mbah Gedhong, tentang sekolah kedokteran. Pak Dokter Syahir menjelaskan tentang sekolahnya yang pernah ditempuhnya selama bertahun-tahun dengan memakan biaya yang besar. Padahal profesi itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Kehidupan masyarakat di sekitarku, meskipun tak jauh dari Candi Borobudur, hanya sedikit yang menambatkan penghidupan sebagai pedagang atau sebut saja saat ini di sektor pariwisata.
Pak "Jaya Ngiil" rambutnya telah memutih di makan usia. Seperti biasanya, aku bermain di sebelah selatan Dusun Ngaran. Hamparan sawah yang cukup luas dan tanaman padi yang menghijau. Menjadi pemandangan yang indah dinikmati pada pagi hari.
Di pinggir jalan yang tak begitu lebar, yang menghubungkan Desa Borobudur dengan Majaksingi itu, ada "cakruk" kecil untuk istirahat.
Belum lama aku sampai di tempat itu, aku lihat Pak Jaya Ngiil menangis tersedu pilu di pematang sawah yang berliku-liku. Ia meratap pilu karena air yang masuk di sawahnya bercampur sampah. Pak Jaya Ngiil pun menumpahkan kekesalannya kepada siapa saja yang dijumpainya.
Ia tak peduli siapa saja yang kebetulan lewat di jalan itu, pasti diumpat. Suaranya keras dan menakutkan, wajahnya seram, pakaian yang lusuh, mirip orang gila, membuat orang takut.
Kehidupan masyarakat di sekitar desaku, meski mereka bertempat tinggal tak jauh dari Candi Borobudur, kehidupannya boleh dikata masih tampak tradisional. Masih banyak bangunan rumah yang ditempati masyarakat sekitar candi itu menggunakan atap genting biasa, berdinding bambu dan kayu, serta berlantai tanah.
Sebagian besar masyarakat desaku bekerja sebagai petani dan buruh, sedangkan yang memanfaatkan keramaian pengunjung candi masih sedikit, karena pengunjung pun juga masih sedikit.
Di seputar candi itu, masih tampak sepi. Keramaian pengunjung hanya pada hari libur sekolah atau libur nasioanal.
Aku masih ingat beberapa nama orang yang membuka usaha di halaman candi waktu itu. Ada Pak Tasman, Pak Sutowarno, Pak Amat Moto, Bu Partini, Bu Daliyem, Pak Sangidi, dan Ramelan penjual suling bambu. Selain itu, Bu Subarno, Bu Marmi, Mbok Saelan, Lik Partini, Lik Sariyem, dan Pak Wahono.
Kebanyakan sejumlah nama tersebut membuka warung makan dan suvenir. Selain Pak Usup yang saat itu terkenal sebagai penjual kupat tahu, ada seorang lagi yang terkenal sebagai tukang cuci mobil, bernama Kang Bekek.
Petani merupakan salah satu pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat sekitar Candi Borobudur. Sepertinya pendapatan dari pekerjaan tersebut masih cukup layak untuk biaya hidup mereka.
Sekitar candi itu memang boleh dikata murah air, utamanya sebelah selatan candi. Mulai dari Dusun Bumi Segara, Sabrangrawa, Gopalan, Ngaran 2, Jowahan, dan Barepan.
Aku masih ingat betul di antara hamparan sawah-sawah yang ada itu, diairi oleh tiga saluran irigasi. Di sebelah utara ada "kalen" pinggir, "kalen" Ngaran Ngisor, dan "kalen" tengah karena posisinya di tengah-tengah kedua "kalen" tersebut.
"Kalen" itu hampir tak pernah sepi dari anak–anak kecil. Mereka mandi di kali sambil bermain air dengan kesejukan alam desa, dengan pematang sawah yang luas membentang selepas mata memandang.
Rasanya bersyukur aku dibesarkan di desa yang masih menyimpan keindahan alam dengan berpetak-petak sawah yang hijau. Sejak kecil aku suka bermain di tempat itu. Di situ aku bisa melihat ketika Pak Parto Jembar usai mencangkul di sawah, pulang dengan kondisi badan yang berlepotan tanah dan basah-basahan terkena lumpur sawah.
Masih aku ingat, cerita ketika sedang mencari ikan di "kalen" tengah. Aku membendung "kalen" itu dengan tanah yang aku ambil dari pematang. Belum sempat air "kalen" itu terbendung, keburu ketahuan Pak Parto Jembar, pemilik sawah di sebelahnya.
Ia marah besar ketika air "kalen" itu masuk ke sawahnya. Aku pun ditendangnya. Akan tetapi, sebelum kaki Pak Parto Jembar itu mengenai kepalaku, aku sudah menghindar sambil terus berlari tunggang langgang, dan akhirnya Pak Parto Jembar terjatuh di "kalen".
Di sebelah utara Candi Borobudur pun air cukup melimpah. Tak jarang aku memancing ikan di "kalen" Janan karena letaknya di Dusun Janan. Dusun itu berada di utara dusunku, Kenayan.
Berbagai jenis tanaman pangan tumbuh di Borobudur, seperti padi saat musim hujan dan ketela, ubi, serta pepaya saat musim kemarau. Itu pun hanya daerah sekitar sebelah barat lapangan sepak bola.
Petani biasanya mulai menyemai benih dan kemudian menjaganya dalam sistem sosial budaya yang terus hidup saat itu. Tak hanya melalui lahan, para petani mulai menyemai dan menjaga benih dalam lumbung sebagai bagian dari kehidupan sosialnya.
Bagi petani, benih tak hanya benda yang menghasilkan buah atau tanaman saja, namun lebih dari itu. Dalam kehidupan sehari-hari, petani melakukan tukar-menukar benih.
Seperti yang dilakukan oleh Mbah Marto Bugel, Pak Ruyono, Mbah Karta Dirman, Pak Ali Sukiyadi, dan masih banyak lagi warga Kenayan, Ngaran, Gendingan, dan juga Janan yang hidup sebagai petani.
Dalam hal ini, benih menjadi media mempererat hubungan sosial di antara petani. Kebiasaan tukar menukar benih, juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pemahaman inilah yang telah menjadikan masyarakat bersatu, rukun, dan kompak dalam menghadapi kesulitan hidup.
Sayang kehidupan sebagai petani tersebut mulai terkikis hingga membuat mereka mulai kurang percaya diri sebagai petani. Bahkan banyak orang tua tidak menginginkan anaknya kelak mempunyai pekerjaan sebagai petani.
Bagaimana tidak, martabat atau kedudukan seorang akan diikuti naiknya martabat orang tua. Jadi petani saat itu, semakin sengsara dan banyak tantangannya, seperti menyangkut harga pupuk yang mahal, rumput dan ilalang yang tumbuh semakin banyak, tikus sawah semakin merajalela. Belum lagi penyakit tanaman padi yang kadang petani Borobudur sendiri belum pernah mengenal namanya.
Selain itu, musim yang tidak bersahabat dan harga jual hasil panen yang murah. Mereka juga dibayangi gagal panen dan masuknya produk impor.
Akhirnya, tidak sedikit para petani Borobudur yang menjual lahan pertaniannya kemudian beralih pekerjaan.
Posting Komentar