Perkenalan saya dengan Mas Coro boleh dibilang belum lama. Saya dipertemukan dengan Mas Coro oleh sebuah kegiatan penelitian yang saya gagas bersama beberapa teman dari LIPI tentang pengelolaan warisan budaya di Pulau Jawa. Kami mencoba meneliti tiga warisan budaya yang dianggap besar dan penting, yaitu Candi Borobudur di Magelang, reruntuhan Ibu Kota Majapahit di Trowulan, Mojokerto, dan petilasan Kesultanan Banten Lama di Serang. Ketiganya menurut pendapat kami merupakan warisan budaya dari tiga peradaban yang pada zamannya telah mendunia, yaitu peradaban Buddha, Hindu, dan Islam. Pertimbangan lain yang bersifat praktis dari saya pribadi adalah karena ketiganya mudah dijangkau dengan transportasi darat bagi kami yang sehari-hari tinggal di Jakarta. Kami berusaha dalam melakukan penelitian ini sesering mungkin mengunjungi lokasi penelitian kami. Di Borobudur tentu orang harus bertemu Mas Coro kalau mau tahu "apa-apa yang hidup di dan seputar Borobudur". Nah, tulisan yang dimaksudkan sebagai semacam pengantar buku yang mengisahkan perjalanan hidup Mas Coro ini, meskipun secara singkat, saya mencoba memosisikan Mas Coro dalam konteks "apa-apa yang hidup di dan seputar Borobudur". Dalam sebuah kesempatan berjalan-jalan di Borobudur, Mas Coro menunjukkan pada saya di mana dulu rumah orang tuanya berada. Tempat dimana Mas Coro dilahirkan itu sekarang berada di dalam "pagar dalam" Candi Borobudur, hanya beberapa langkah setelah kita lewat pintu masuk utama candi di bawah pohon beringin. "Wah betapa dekatnya rumah bapak Mas Coro dengan kaki candi," komentar saya spontan waktu itu. Bayangkan, Mas Coro adalah betul-betul orang yang dibesarkan dalam asuhan, apa yang menjadi keyakinan setempat disebut sebagai "Mbah Budur". Sejak dilahirkan hingga sekarang, setelah saya membaca perjalanan hidup yang dituliskannya menjadi buku (Jilid I) ini, Mas Coro boleh dikatakan tidak pernah meninggalkan Borobudur. Dari kisahnya, pengalaman meninggalkan Borobudur barangkali beberapa saat Mas Coro "hidup menggelandang” di Yogyakarta. Pengalaman "hidup menggelandang" di Yogyakarta --yang juga tidak terlalu jauh dari Yogyakarta itu-- mungkin yang menjadikan Mas Coro berkembang menjadi seorang yang kritis dalam menghayati dan memandang "apa-apa yang hidup di dan seputar Borobudur". Di Yogyakarta inilah, Mas Coro mulai berkenalan dan bergaul dengan para aktivis yang akan terus menjadi bagian penting dari perjalanan hidupnya. Dengan ungkapan yang lain, saya bisa mengatakan bahwa Mas Coro bisa dilihat sebagai "bagian dalam" dari Borobudur, namun pada saat tertentu dia juga bisa keluar, dan menjadi "bagian luar" dari Borobudur. Jika ada yang istimewa dari orang yang bernama lengkap Sucoro ini, adalah kemampuannya untuk hilir-mudik "di dalam" dan "di luar" Candi Borobudur. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap warisan budaya, apalagi warisan budaya sebesar Candi Borobudur, memiliki apa yang disebut sebagai dimensi "kebendaan" (tangible) dan "ketidakbendaan" (intangible). Mas Coro adalah orang yang tidak saja memahami namun yang jauh lebih penting dari itu, adalah orang yang menghayati kedua dimensi yang melekat pada warisan budaya yang bernama Borobudur itu. Buku yang diberinya judul "Dari Luar Pagar Taman Borobudur" menarasikan secara menarik bagaimana Mas Coro memahami dan menghayati dengan baik "apa-apa yang hidup di dan seputar Borobudur". Penyebutan Candi Borobudur sebagai "Mbah Budur" oleh Mas Coro dan masyarakat sekeliling Borobudur menunjukkan betapa telah meresapnya "roh" Borobudur dalam diri mereka. Dalam konteks ini, pemahaman kalangan akademisi yang membedakan antara yang "tangible" dan yang "intangible" dari warisan budaya terasa begitu superfisial dan dangkal. Membaca buku Mas Coro dari Mbudur ini, kita seperti dibawa berjalan-jalan dalam lorong sejarah Candi Buddha ini sejak tahun 1950-an hingga hari ini. Mas Coro yang lahir pada 1952 ini dapat menceritakan dengan teliti berbagai perubahan yang bersifat kasat mata namun juga yang tidak kasat mata. Gaya bercerita yang dikemas dengan menampilkan penggalan-penggalan peristiwa ini sesungguhnya merupakan sebuah narasi sejarah sekaligus etnografi yang sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui Borobudur di luar narasi-narasi yang bersifat resmi, standar, dan konvensional. Di dalam kisah-kisah Mas Coro, kita dibawa masuk tidak saja ke dalam suasana masa lalu "di dan seputar Borobudur", namun kita juga dipertemukan dengan sosok-sosok yang hidup, orang-orang sederhana yang kisah hidupnya tidak mungkin dicatat dalam sejarah resmi. Desakralisasi Borobudur yang terjadi secara perlahan-lahan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan yang bernama "pemugaran" bagi saya adalah bagian paling penting dari kisah Mas Coro Mbudur ini. Pembaca yang jeli juga dapat menangkap proses semakin mendalamnya keterlibatan resmi negara dan perangkatnya --mungkin belum pernah tergambarkan secara konkret dan hidup, sebagaimana dikisahkan oleh Mas Coro dari Mbudur ini. Yang menarik, keistimewaan Mas Coro untuk "keluar masuk" Borobudur sebagaimana telah disebutkan di muka tadi, merupakan kemampuan yang diperolehnya secara autodidak dari berbagai pengalaman nyata dalam kehidupannya. Beberapa pengalaman yang bisa dikatakan cukup dramatis, dan mungkin secara psikologis cukup traumatis secara pribadi, antara lain adalah ketika pemerintah mulai melakukan penggusuran warga yang tinggal di sekitar candi dan memindahkan mereka keluar kawasan yang direncanakan menjadi apa yang pada awalnya disebut sebagai Taman Purbakala. Inilah mungkin kisah yang secara sosial paling penting dalam konteks proses pemugaran Candi Borobudur. Masyarakat yang semula menjadi bagian dari Candi Borobudur, sejak saat itu mulai dipisahkan oleh pagar besi --bahkan mereka kemudian harus membeli tiket jika ingin "masuk" ke Borobudur. Perlawanan warga yang tidak rela dipisahkan dari Borobudur adalah bagian cerita Mas Coro yang sangat penting, tidak saja karena di situ tergambarkan tentang sebuah proses kontestasi antara negara dan rakyatnya, namun yang lebih penting lagi adalah sebuah kisah tentang bagaimana sebuah warisan budaya --dengan menggunakan istilah Benedict Anderson-- telah dimuseumkan oleh negara. Pemuseuman Candi Borobudur adalah bentuk nyata dari pengambilalihan sebuah warisan budaya yang semestinya menjadi bagian dan milik masyarakat menjadi sepenuhnya milik dan demi kepentingan negara. Pemuseuman yang dalam tahap berikutnya dikembangkan menjadi pemariwisataan inilah yang secara "gambling" memperlihatkan proses desakralisasi Candi Borobudur. Kisah lain yang melibatkan Mas Coro adalah peristiwa peledakan bom di Candi Borobudur pada 1985. Dalam kisah ini, Mas Coro tidak saja mendapatkan perlakuan yang tidak adil oleh aparat keamanan negara --karena dituduh menjadi bagian dari pelaku peledakan bom-- namun juga memperlihatkan bagaimana seseorang yang telah menjadikan Candi Borobudur bagian dari hidupnya --diposisikan sebagai perusak dari warisan budaya yang sangat dicintainya. Sebuah perlakuan yang tidak saja tidak adil, namun juga semena-mena dari negara terhadap warga negaranya. Dalam kisah-kisah selanjutnya akan tergambar-kan bagaimana Mas Coro dan komunitasnya menolak rencana pembangunan mal dengan nama Jagad Jawa, dan berbagai kegiatan rutinnya dalam bentuk kesenian dan upacara kebudayaan "ruwatan". Pengantar pendek ini saya beri judul "Mas Coro Mbudur" tidak lain dengan maksud menunjukkan betapa lekatnya seorang yang bernama Sucoro dengan Candi Borobudur. Kelekatan Mas Coro dengan Borobudur bisa digambarkan dari pilihan-pilihan kegiatan yang diambil --terutama yang kemudian menempatkan Mas Coro sebagai seseorang yang tidak mungkin diabaikan ketika hendak membicarakan tentang Borobudur. Pilihannya untuk membangun "Warung Info Jagad Cleguk" misalnya, tidak hanya menunjukkan kesadarannya akan pentingnya lalu lintas informasi pada zaman ini, namun juga kesadarannya akan peran yang akan selalu dimainkannya sebagai "cultural broker" --meminjam istilah Cliffort Geertz-- yang bisa "keluar masuk" baik "di pagar dalam" maupun "di pagar luar" Candi Borobudur. Sebagai "cultural broker", Mas Coro Mbudur tentu paling mudah dilihat dalam peran-peran yang bersifat kasat mata --yang secara populer bisa disebut sebagai "aktivis kebudayaan". Namun yang perlu mendapatkan perhatian secara serius adalah peran Mas Coro --dan saya yakin banyak lagi teman-temannya yang lain di dalam maupun di luar Borobudur-- yang disadari atau tidak oleh mereka, diam-diam melakukan perlawanan atau resistensi terhadap proses desakralisasi Candi Borobudur. Meskipun Borobudur banyak dikunjungi, sebagian besar orang mungkin tidak terlalu menyadari bahwa Candi Borobudur adalah sebuah peradaban besar Jawa pada masanya --yang telah mendunia-- sebelum istilah globalisasi dipakai belakangan ini. Rawamangun,15 Desember 2015 -- Direktur Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama