Peran Warga

   Peran warga sekitar saat itu dalam pemugaran Candi Borobudur juga telah dibutuhkan guna mendukung kerja besar tersebut. Baik tanah maupun bangunan milik warga sekitar dengan radius 200 meter dari kaki candi, dibebaskan untuk kegiatan restorasi .Tanah yang berupa tegalan itu, sebagian basar milik warga Dusun Ngaran Krajan. Tanah di sekitar itu, biasanya ditanami jagung dan ketela

   Warga yang terkena pembebasan tanah, diberi ganti rugi sebesar Rp200 per meter persegi, sedangkan tanah yang dibebaskan saat itu, lebih banyak di sebelah selatan Candi Borobudur. Tanah itu, antara lain milik Bapak Sunardi, Bapak Wirotedyo, dan beberapa lainnya yang berasal dari Dusun Ngaran Krajan. Semua tanah yang dibeli terletak  di sebelah selatan Candi Borobudur. Waku itu, harga pasaran tanah di luar area sudah mencapai antara Rp750-Rp1.200 per meter persegi.

   Pak Soekmono selaku kepala proyek pemugaran waktu itu  membutuhkan tanah dalam radius 200 meter dari kaki candi. Akan tetapi, karena Pak Soekmono  tidak dapat membeli langsung kepada pemilik, karena ada peraturan yang mengharuskan ia harus  membeli dari pemerintah daerah, sehingga untuk proses pembebasan tanahnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang.

   Pada 1972, tempat parkir kendaraan pengunjung dan beberapa  warung makan dan kios suvenir  yang  terletak di sisi timur dan utara Candi  Borobudur,  dikenal dengan "parkir pereng", dinilai telah mengganggu kegiatan pemugaran. Tempat tersebut harus dipindahkan ke arah timur dengan menggusur tanah warga. Sebagaian warga yang terkena penggusuran itu,  M. Rachmad, Amat Sayuti, Darmo Suwito, Ali Sukiyadi, Luwarno, Murdiman, Ambal, Toko Ibu Sumirah, Pak Rakim, Pak Much Iksan. Semuanya warga Dusun Ngaran I. Waktu itu, uang ganti rugi yang diterima  warga masih sama dengan harga sebelumnya, yaitu Rp200-Rp225 per meter persegi. Padahal, tanah-tanah di sekitar itu harganya sudah mencapai Rp1.500-Rp2.000 per meter persegi. Seperti yang dialami oleh Pak Sunardi dan Pak Wirotejo yang telah berulang kali kena gusur. Mereka tidak mampu membeli lagi tanah dengan ukuran luas yang sama dengan sebelumnya. Kedua orang itu harus tombok untuk membeli tanah yang baru. Alhasil, luas tanah mereka semakin berkurang, baik ukuran maupun posisinya yang semakin terpinggirkan. Belum lagi bangunan yang sebelumnya telah didirikan permanen kemudian dipindahkan. Tentunya hal ini akan membuat rusak dan harus diganti.

   Sekitar tiga hingga empat hektare tanah yang telah dibebaskan oleh Pemda Magelang itu, kemudian dibangun tempat parkir kendaraan, baik bus maupun mobil, dan restoran  yang dikenal dengan nama "Indras", serta  kios-kios dan warung makan yang dibangun secara swadaya  oleh pedagang.

   Tempat parkir kendaran itu, dapat menampung kurang lebih 40 mobil sedan dan 20 bus. Tentunya dibandingkan dengan keramaian saat itu, masih seimbang. Hanya pada masa liburan anak sekolah, yang mengalami kenaikan hingga menjadi tiga kali lipat dibandingkan dengan hari biasa.

   Di tempat parkir kendaraan itu, aku menempati  lahan sekitar 3 x 4 mater persegi yang  kemudian aku bangun warung makan  dengan berjualan soto, bakso, gado-gado, dan es.

 

 

 

 

 

 

 




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama