.


   Aku, bapak,simbok, dan Lik Resik tinggal di Dusun Kenayan, Desa Borobudur, Kecamatan Boro-budur, Kabupaten Magelang. Kota itu terkenal  dengan Candi Borobudurnya.

   Rumahku juga tak jauh dari kaki Candi Borobudur yang saat ini kondang sebagai objek wisata.

   Bapakku bekerja sebagai tukang kayu, dan pernah menjadi pembantu kusir andong atau dokar. Bapakku juga pandai memperbaiki andong.

   Pada era 1950-an, jumlah andong masih dapat dihitung dengan jari. Andong menjadi sarana transportasi utama di Borobudur. Petani, pedagang, buruh, bahkan para pejabat seperti camat dan lurah, hampir semua memanfaatkan sarana transportasi itu.

   Maka tak heran apabila para kusir andong itu sering disapa pejabat, mulai dari asisten atau camat hingga lurah.

   Mbah Setra Wirana, panggilan akrab kakekku, dikenal memiliki andong paling bagus di antara lainnya. Mbah Setra Wirana adalah kakak kandung Mbah Kartodikrama yang juga terkenal dengan nama Mbah Karto Gedhong.

   Dia disebut Mbah Karto Gedhong karena satu-satunya orang yang pertama kali membangun rumah "gedhong" atau berdinding batu bata.          

   Rumahnya di pinggir jalan menuju Candi Borobudur atau sekitar 300 meter dari kaki candi itu. Mbah Gedhong bekerja sebagai mandor perawat Candi Borobudur.

   Tak jarang bapakku membantu Mbah Karto Gedhong, bekerja membersihkan batu-batu candi itu.

   Borobudur pada era 1960-an masih sepi. Belum ada kawat listrik yang melintang di kawasan itu. Hanya kawat telepon yang menghubungkan antarkecamatan.

   Ingar-bingar suara radio transistor dua band, itu yang ada hanya di toko milik Pak Jaya Dirham. Setiap malam Kamis dipenuhi orang yang ingin mendengarkan suguhan ketoprak yang disiarkan oleh RRI Yogayakarta.

   Aku masih ingat salah satu cerita yang banyak digemari oleh pendengarnya, yaitu "Ambar Tanjanung".

   Borobudur termasuk kota kecil atau kota kecamatan yang meliputi 20 desa. Jalan yang menghubungkan ke kotaku, dari Muntilan kurang lebih 18 kilometer. Transpotasi dari arah Muntilan pada era itu, hanya ada satu bus dengan nama "Madju".

   Aku masih ingat, pemilik andong waktu itu, selain Mbah Dipo, juga ada Pak Mudri yang tinggal di Kedung Ombo dan Mbah Dipo Tingal.

   Jika andong mereka rusak, para kusir biasanya membawa ke bengkel yang jaraknya cukup jauh, di Muntilan, Blabak, atau Magelang. Salah satu bengkel adalah milik Pak Slamet Pucung, Muntilan.

   Sekitar 1966, bapakku bersama Lik Suwito mendirikan bengkel andong. Kata bapakku, ke depan andong akan kalah bersaing dengan kendaraan bermotor. Akan tetapi, andong tidak akan habis,   jumlahnya akan semakin sedikit.

   Alat-alat dan suku cadang andong memang tidak ada yang menjual. Oleh karena itu, bapakku memproduksi sendiri suku cadang dan alat-alatnya untuk memperbaiki andong.

   Dulu, bapakku sempat memiliki tiga pegawai. Yang aku ingat, ada Pak Siti, Pak Slamet dari Muntilan, dan Lik Suwito.

   Jumlah andong memang sekarang makin sedikit karena harus bersaing dengan mobil dan sepeda motor.

   Akan tetapi, pendapatan para kusir andong saat ini masih tergolong lumayan karena Borobudur berkembang menjadi tempat pariwisata.

   Cukup banyak wisatawan Candi Borobudur baik berasal dari dalam maupun luar negeri yang menjadikan andong sebagai transportasi wisata mereka, sehingga kereta kuda itu masih tetap hidup sampai dengan saat ini.

Post a Comment

أحدث أقدم