.

                                    


                                        Dusunku Samar-Samar

   Bulan setengah purnama itu, seperti mengam-bang di atas langit Candi Borobudur, menghiasi bangunan megah yang nampak semakin indah.

   Desaku pun mulai terlihat samar-samar tenggelam, ketika senja berwarna kemerahan itu mulai berganti.

   Dan bayangan hitam besar yang tak jauh dari pusat pemberhentian bus depan pasar itu, mulai tak  terlihat kemegahannya.

   Peradaban lama pun terlintas di benakku. Ah betapa hebatnya nenek moyangku  membangun candi sebesar itu.

   Pagi pun berganti malam. Bulan berganti hingga tak terasa saat itu,  usiaku telah menunjukkan angka 27 tahun.

   Aku memang lahir pada 28 September 1952. Sama sekali tak  terbesit dalam pikiranku, bahwa pada usiaku yang ke-27 tahun itu, aku akan mendapat pengalaman baru.

   Belajarlah dari pengalaman itu, lebih baik.  Demikian kata orang bijak. Mungkin, itu kata yang tepat untuk menjadi  perenunganku,  agar  aku  mau  mencoba belajar memahami semua persoalan yang muncul  di sekelilingku.

   Aku sengaja  tidak memilih untuk satu persoalan saja. Semua yang terkait dengan Borobudur akan aku coba ikuti.

   Rasanya sudah satu bulan lebih, stasiun RRI Yogyakarta sering menyiarkan tentang rencana pembangunan di Borobudur.

   Tidak hanya radio, koran-koran pun menulis tentang rencana tersebut. Yang pernah aku baca di koran maupun aku dengar melalui siaran radio, menurut Pak Boediardjo bahwa pada masa mendatang, di Borobudur akan banyak didatangi  pengunjung, baik mereka yang sekadar untuk berwisata, sampai mereka yang ingin mempelajari tentang keberadaan candi peninggalan Dinasti Syailendra itu.

   Candi itu peninggalan pada abad kedelapan. Tentunya candi tersebut berfilosofi Buddha. Akan tetapi sebenarnya apa yang telah terjadi saat Dinasti Syailendra  berkeinginan untuk membangun monumen raksasa itu?

   Betulkah semua itu untuk mengenang  dan sekaligus untuk memberi tuntunan kepada rakyatnya? Dengan cara melukiskan semua perjalanan hidupnya, Sang Buddha Gautama pada dinding-dinding candi itu, sejak lahir menuju kesempurnaan, seperti yang dilukiskan dalam relief  candi itu?

   Atau mungkin bangunan raksasa itu, sebagai bentuk penghormatan rakyat kepada rajanya?

   Menurutku cerita lama tentang asal-muasal Candi Borobudur itu, memang hal yang menarik untuk dimengerti, dan bahkan mungkin untuk dipelajari.

   Sepertinya betul juga kata Pak Boediardjo, bahwa tujuan utama pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur tersebut untuk menjadikan Borobudur sebagai pusat studi berbagai macam ilmu.

   Menurut Pak Boediardjo, Candi Borobudur menyimpan berbagai disiplin ilmu, yang sampai dengan saat ini belum pernah ada ilmuwan mampu menjelaskan tentang keberadaan Candi Borobudur secara detail dan faktual.

   Hampir semua kata sejarawan dan juga arkeolog itu, masih prediksi,  berdasarkan analisa.

   Sayangnya, tujuan semulia itu, waktu itu  kurang sosialisasi. Aku yakin bahwa  tujuan pembangunan Borobudur seperti yang dikatakan Pak Boediardjo yang tertuang dalam konsep pendirian tersebut pada masa  mendatang akan dibelokkan.

   Alasanku sederhana. Waktu itu mengapa pekerjaan sebesar itu dikuasakan kepada perusahaan dengan status perseroan terbatas yang pasti akan ada untung dan rugi.

   Mestinya perencanaan sebesar itu, dalam rumusannya juga melibatkan masyarakat sekitar, karena tujuan utama pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat.

   Oleh karena itu, konsep-konsep pemberdayaan masyarakat menjadi penting untuk disiapkan.

   Padahal, sejak awal aku mendengar kabar tentang rencana proyek Borobudur itu, belum pernah sama sekali mendengar konsep pemberdayaan masyarakat sekitarnya.

Akhirnya aku sampaikan gagasanku itu kepada bapakku yang kebetulan sering diajak ngobrol oleh tetangga dan tokoh-tokoh dusun, seperti Pak Baru, Pak Ruyono, Pak Jono, Pak Dasar, Pak Sontrot.

 

 


 

Post a Comment

أحدث أقدم