Jl. Medangkamolan 7 Borobudur
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak
cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta
atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau mem perbanyak ciptaannya, yang
timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 72:
1. Barang siapa
dengan sengaja atau tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) atau pasal 49 ayat
(1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
2. Barangsiapa
dengan sengaja menyiarkan, memamer kan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah)
DAFTAR ISI
Sucoro, Ruwat Rawat
dan Kongres Borobudur
–10
Mas Sucoro
dan Upaya Melestarikan Pusaka Borobudur oleh: Prof. Dr. M.Baiquni- UGM-13
Bab II Kesaksian
Merajud Silaturahmi ,Menganyam Harmoni Kuatkan
Tradisi - 20
Kesaksian dalam Ruwat Rawat Borobudur – 24 Penuturan
Mbah Mbudur - 30
Peran Sucoro
dalam Membangkitkan Literasi Pelestarian Nilai Spiritualitas Borobudur-50
Dari Hibah Seribu Buku
Desa ‘Cinta’ Literasi Pelestarian Nilai Spiritualitas
Borobudur - 62
Pariwisata Lintas Kawasan
Borobudur -67
Apollo Pemrakarsa Wisata lintas kawasan Borobudur
dengan Mobil VW’ - 76
Mengenali dan Melestarikan Spirit
Borobudur Jawa- 83
Warisan Tambang
batu Bara umbilin
Dan Borobudur dalam pengakuan
UNESCO-92
Kompetisi Opini Kongres Borobudur 2
Kompetisi Opini-Kongres Borobudur 2 dalam Rangka
22 Tahun Ruwat Rawat Borobudur_ Tema “Menelisik Spiritualitas Borobudur melalui Keberagaman Budaya dan
Kearifan Lokal” -98
‘Kongres Borobudur 2’ Ruwat Rawat Borobudur XXII- 2024
Menelisik Nilai Spiritualitas dan Keragaman Budaya Borobudur
- 104
Kerinduan kepada Borobudur- 108 Spiritualitas
kreatif ?-113
Tuyul Kapitalis - 116
Memaknai Keanekaragaman Budaya Nusantara melalui Lensa
Candi Borobudur- 119
Mengintegrasikan Budaya Lokal dengan Pariwisata Borobudur
Guna Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Kreatif - 124
Antara Makna Tektual dan Kontektual bagi Masyarakat Pengrajin
Seni Pahat Batuy Muntilan - 129
Inspirasi Nilai Konservasi dan Kebijakan Universal Pada
Relief Jataka- 136
Menjaga
Rasionalitas di Tengah Upaya Pemajuan Kebudayaan Berbasis Spiritual di Kawasan Borobudur,
Jawa Tengah - 166
Borobudur: “Dari
Frankfurt, Reims dan Versailles”
– 179
Menggaungkan Nilai
Spiritual Borobudur melalui PAKLIDUR (Paguyuban Kerajinan
Limbah di Borobudur) - 187
Mengenal Moderasi
Beragama di Situs
Warisan Dunia, Candi
Borobudur: Harmoni dalam
Keberagaman Budaya - 194
Borobudur Rumah Semua Umat beragama-
208
Borobudur Dalam Lintas Persoalan
Polemik Catra dan Upaya Merawat Ikatan Spiritual Borobudur
- 215
Nasib Balkondes-Balkondes di Borobudur – 222
Dialektika Pengelolaan Candi Borobudur – 232 Identitas Lokal
Yang Terlupakan- 244
Bab VI
SUMBANGSIH UNTUK BOROBUDURKU
Catatan Penting dari Kompetisi Opini-
249
-Kongres Borobudur2 Sebagai Sumbang Sih Pemikiran Atas Persoalan Borobudur – 251
Bab VII EPILOG
Urgensi Keterlibatan Aktif Masyarakat Lokal
Dalam Pengelolaan Warisan Dunia Candi Borobudur-257
Biografi
Sucoro
Setrodiharjo 264
![]() |
Foto Juara Kompetisi
Opini – Juara Festival
Kesenian Rakyat
![]() |
KATA PENGANTAR
Deskripsi “Sucoro, Ruwat Rawat dan Kongres Borobudur”
Borobudur selalu menyimpan kisah, tidak hanya tentang candi
dan semua unsur warisan budaya di sekitarnya. Candi Borobudur sebagai warisan
budaya yang memiliki nilai etika dan moral spiritualitas. Nilai spiritual
memberi makna dalam hidup, memberi acuan, titik tolak dan tujuan hidup yang
dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang.Paradigma
lama pengelolaan Borobudur pun berkutat
pada perlakuan monumen
sebagai sesuatu yang sakral
sebagai tempat kontemplasi, meditasi. Namun demikian pasca rektorasi Borobudur ke- 2
Borobudur dijadikan tempat pariwisata dan perjalanan waktu Borobudur menjadi monumen mati dan, kesakralan kesucian pun terabaikan
Disisi lain polemik rencana pemasangan chattra pada puncak stupa Borobudur menjadi
pembelajaran semua pihak termasuk pengelola, betapa tidak mudahnya
mengembalikan nilai spiritual
Malalui Buku Inspirasi Borobudur dan sebagai tindaklanjut
Kompetisi Opini - Kongres Borobudur ke-2 kita
berbagi interprestasi untuk melestarikan Warisan
Budaya
yang selaras dengan nilai-nilai spiritualitas dan kebermanfaatannya di tengah
perbedaan-perbedaan yang ada.
Di sisi lain Borobudur yang akan dikelola melalui Badan Layanan
Umum yang telah
dibentuk secara khusus dengan merevitasilasi museum dan cagar budaya
sehingga menjadi ruang publik
yang sangat layak untuk dikunjungi
sebagai destinasi wisata. Dan munculnya Kementerian Kebudayaan melalui buku ini
sangat strategis untuk menegaskan pentingnya kehadiran seorang Menteri yang
benar-benar terampil dan memahami kebudayaan secara mendalam.
Terima kasih
BAB
I PROLOG
Mas Sucoro
dan Upaya Melestarikan Pusaka Borobudur
Pengantar
oleh M. Baiquni
Embun pagi masih menempel di rerumputan. Lelaki berambut
putih dengan kucir khas mengikat rambut gondrongnya, melangkah membawa sapu
lidi menuju halaman depan rumahnya. Candi Borobudur masih berselimut kabut
lembut, udara dingin usai gerimis
hujan sepanjang malam.
Pagi itu sebelum nyeruput kopi dan menyantap rebusan ketela,
mas Sucoro dengan
setia dengan gerak
dan suara sapu lidinya merapikan dedaunan yang berserakan di halaman
rumahnya yang tidak terlalu luas persis didepannya Candi Borobudur tegak berdiri.
Kali ini ia bangun trengginas, tidak seperti biasanya yang kadang pagi masih
bermalas bangun. Biasa kalau semalam harus menemani tamunya ngobrol ngalor
ngidul semalaman, paginya kadang perlu disambung tidur sebentar usai menunaikan
kewajibannya shalat subuh.
Warung Info Jagad Cleguk menjadi saksi perjuangannya menebar informasi, yang kadang
memang membawa dasar kebenaran hakekat atau kadang sekedar info ringan
kalau tidak dikatakan hanya kabar burung. Bagi para pegiat seni budaya, tak
asing lagi jeneng mas Sucoro yang lebih kekinian dipanggil mbah Coro ada pula
yang memanggilnya dengan Romo dan Ki. Saya lebih senang memanggil dengan mas, agar masih terlihat muda
atau
paling tidak terasa semangat muda. Mas Coro selalu
bersemangat muda, terutama urusan dengan pelestarian budaya Borobudur, juga
upaya menjaga nilai dan melestarikan pusaka leluhur.
Borobudur merupakan pusaka leluhur yang dicatatkan sebagai
warisan dunia dalam World Heritage List dengan
nomor C592 pada tahun 1991. Sudah lama upaya pemanfaatan dan pelestarian pusaka
budaya dan kehidupan sekitarnya, namun belakangan mengalami kemerosotan pamor
di dunia internasional. Sejak Candi Borobudur
dibuka untuk pariwisata, telah banyak manfaat dirasakan baik oleh pemerintah
dalam menuai devisa maupun masyarakat sekitar dalam menerima manfaat sebagai
daya tarik wisata yang dikelola oleh BUMN.
Candi Borobudur dalam pengelolaan dan pemanfaatan sebagai
daya tarik wisata
ternyata membawa dampak pada
nilai-nilai penting warisan budaya ini maupun
dampak sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat yang ada di sekitarnya.
Kadangkala muncul dampak
yang justru menimbulkan masalah-masalah baru yang rupanya tidak terduga
dan kurang teperhatikan sebelumnya. Berbagai perbedaan kepentingan pusat dan
daerah, investor pemodal dan pengusaha lokal, beragam sektor dan aktor, telah
berkembang menjadi persaingan dan bahkan konflik
antara berbagai pihak yang terlibat
dalam pengelolaan dan pemanfaatan candi ini.
Masalah dominasi pemanfaatan dan penetrasi kapital di
kawasan perdesaa disekitar Borobudur, bisa jadi pemicu penurunan pamor ini yang
diduga akibat tekana pemanfaatan yang lebih dominan dibanding konservasi situs
purbakala ini. Sejumlah keluhan wisatawan berkaitan dengan pelayanan dan sikap perilaku
para
pendagang
dalam menyodorkan dagangannya masih terkadang muncul. Demikian pula keluhan
datang dari pihak para pedagang dan warga setempat terhadap pengelola berkaitan
dengan berbagai peraturan yang menurut mereka perlu ditinjau kembali.
Memikirkan dan mengkaji
kembali keberadaan Candi Borobudur sebagai pusat peradaban
masa lampau maupun magnet pariwisata, menjadi
inspirasi bagi mereka yang peduli dan handarbeni pentingnya nguri-uri
nilai-nilai maupun material bangunan-bangunan canndi beserta relief-relief
ibarat buku pustaka kehidupan yang selalu terbuka untuk dipelajari dan diinterpretasi.
Dalam tulisannya di salah
satu jurnal disebutkan ”Upaya berbagai
pihak untuk memikirkan kembali Borobudur diperlukan sebagai masukan bagi konsep
baru yang dapat mengangkat potensi tidak
hanya candi sebagai bangunan, tetapi juga lansekap bahkan
juga saujana budaya di desa- desa
sekitarnya. menampung berbagai kepentingan dan dinamika yang berkembang”
(Baiquni, M. 2009).
Mas Coro secara konsisten terus memperjuangkan
eksistensinya sudah sejak lama. Ritual Rawat Ruwat Borobudur sebagai ekspresi
kebudayaan dengan mengembangkan peranserta masyarakat dilakukannya lebih seperempat abad lalu. Melalui
aktivitas kecil-kecilan
hingga mengajak kolaborasi secara kolosal, sejumlah komunitas dari desa-desa
yang turun dari gunung-gunung disekitarnya. Gerakan yang
dilakukan lebih banyak gotong royong, terkesan spontan dan memang khas gerakan
rakyat budayawan, yang bukan proyek dari atas maupun event dari luar.
Mas Coro selalu gigih menghubungi teman-temannya, termasuk
saya untuk mendukung berbagai gagasan, gerakan, dan gotong royong yang menghadirkan suasana peringatan dan penyadaran rakyat itu.
Borobudur perlu lihat dan diapresiasi dari berbagai sudut
pandang dengan segala dimensinya. Bagaimana Borobudur dilihat dari berbagai
perspektif, sangat tergantung siapa dan atas kepentingan apa serta mengapa
pentinya Borobudur diletakkan. Memandang Borobudur tidak hanya stuktur fisik bangunan sebagai daya tarik atau
magnet pariwisata merupakan aspek untuk memanfaat kannya, sekaligus
pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan kesemestaan dalam mengkonservasi situs
warisan budaya.
Borobudur ibaratnya sebagai buku kehidupan yang mengandung
banyak pelajaran bagi siapa saja yang mengulak, mengalik, dan menguliknya.
Pengembangan Borobudur dalam pandangan
mas Sucoro, perlu alternatif yaitu berbasis pengetahuan dan pengalaman guna menemukan nilai-nilai penghidupan (livelihood/economy), kehidupan (social), kemanusiaan (human/well- being), kesemestaan alam (nature) dan ketuhanan (spirituality).
Sembari mengutip sebuah konsep dan model Compass of Sustainability yang dikenal
adanya Empat Penjuru Mata Angin dalam
merumuskan konsep dan arah
pembangunan berkelanjutan (AtKisson Groupe International, 2006). Baiquni, M 2009 menuliskan bahwa
simbolisasi kompas itu memberi petunjuk Arah utara (North) dikaitkan dengan dimensi alam (Nature). Arah timur (East)
dikaitkan dengan pentingnya ekonomi dikembangkan. Arah selatan (South) berkaitan dengan pengembangan
sosial demikian pula arah barat (West)
dikaitkan dengan pentingnya membangun kehidupan
manusia
dalam kesejahteraan dan seseimbangan spiritualitas (Well-being).
Mas Coro lebih tamyis
dalam menterjemahkan konsep dan model Compass
of Sustainability dalam kehidupan masyarakat Jawa yang dikenal Kiblat Papat Limo Pancer. Istilah itu
hidup dalam alam pikiran dan praktek kehidupan masyarakat sebagai pengarah
kehidupan manusi.
Warisan sejarah seperti halnya Borobudur, memungkin kan siapa saja yang ingin
berkelana dalam perjalanan imajinasi peradaban masa silam dan merangkai dengan
masa kini serta membayangkan masa depan peradaban manusia. Mas Coro mencoba
berbagai kreasi untuk meramu kemampuan berbagai pengetahuan dan bukti penemuan
yang diinterpretasi dan dijadikan rangkaian cerita yang menarik. Tak hanya
cerita, tetapi juga pemikiran holistik berbasis pengetahuan dan dikemas dengan
pendidikan ini digarap dalam berbagai kreasi bersama generasi muda.
Borobudur ibarat memiliki magnet, memiliki gaya atau
kekuatan sentripetal dan sentrifugal yang harus digerakkan secara sinergis,
dinamis dan harmonis. Bila dua kekuatan pengembangan Borobudur ini digerakkan,
maka kekuatan magnet yang muncul
semakin kuat hingga mampu memancarkan energi
gerak elektromagnetik yang bisa ditransformasi menjadi cahaya.
Penjelasan kedua gaya kekuatan ini lebih dimaknai dari sudut pandang
pengembangan masyarakat dan pembangunan wilayah Borobudur dikaitkan dengan
mengembangkan keseimbangan kehidupan.
Mas Coro diusianya yang sudah sore, memerlukan penerus estafet sejumlah cantrik muda nan trengginas
lan kreatif, yang mampu menangkap estafet semangatnya dalam memelihara
keseimbangan para pelaku di Borobudur. Mendung pekat menutupi keteguhan dua
puncak Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Dari jauh nampak hujan mulai turun
diterpa sinar matahari sore, sehingga membiaskan warna-wani pelangi peneduh
hari yang telah bersemangat membara sepanjang hari. Pelangi menjadi keindahan alam di musim hujan
diatas Borobudur, indah bagi anak-anak untuk bermain menyongsong hujan. Indah
pula bagi para tetua untuk menikmati teh daun pucuk yang Nasgitel (panas legi kentel).
Mas Coro, meniko
sampun sore, monggo sambil rilex menanti senja turun dengan pelangi yang
indah, sambil menunggu adzan maghrib panggilan
sujud kepada Ilahi Robbi.
Bulaksumur, 20 Januari
2025
tingkat pendidikan. Dari jumlah peserta tersebut ditetapkan
ada 13 peserta finalis yang karyanya dinilai oleh para pembahas. Oleh tim perumus
ditetapkan sebagai juara I
adalah Yoga Budhi Wantoro, S.Sn. M.Sn dari Sanggar Seni Pahat Baru ‘Syailendra’
dusun Sidoharjo/ Prumpung desa Tamanagung, Muntilan. Juara II diraih oleh
Lasmito Adi Suyoto, Pendiri Pusat
Studi Borobudur ‘Gagas Gapura’, desa Bumiharjo Kecamatan Borobudur. Dan juara
III diberikan kepada Fitria Alfiah Hastuari, mahasiswi Universitas Tidar Magelang
Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan.
Urgensi Keterlibatan Aktif Masyarakat Lokal dalam
Pengelolaan Warisan Dunia
Candi Borobudur
Dr. Andre Notohamijoyo, MSM Asisten Deputi Pengurangan Risiko Bencana Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya dan hayati yang
luar biasa termasuk berbagai peninggalan sejarah dari berbagai masa sejak era
prasejarah, kerajaan Hindu dan Buddha,
kesultanan Islam hingga
kemerdekaan. Warisan budaya yang luar biasa tersebut sangat menarik
minat berbagai pihak untuk mengunjungi kawasan cagar budaya tersebut, baik
peneliti, sejarawan, maupun wisatawan domestik dan mancanegara. Tantangan utama
dalam pengelolaan cagar budaya adalah bagaimana melibatkan masyarakat lokal
dalam pengelolaannya.
Pengelolaan cagar budaya bersinggungan dengan tantangan
ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Perhatian pemerintah pada umumnya masih
melihat pengelolaan cagar budaya dari aspek pelestarian, pemanfaatan dan
pariwisata.
Aspek sosial sering kali terabaikan, termasuk keterlibatan
masyarakat lokal. Berbagai permasalahan terjadi akibat tantangan ekonomi
bagi masyarakat yang
tinggal di sekitar kawasan cagar budaya termasuk Candi
Borobudur yang mendapatkan pengakuan
sebagai warisan budaya dunia dari United
Nations for Education, Science and Cultural Organization (UNESCO) pada
tahun 1991.
Pengelolaan Borobudur dinilai
hanya berorientasi pada pariwisata dan belum menyentuh
masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan. Sejak tahun 1992, Pemerintah
telah menetapkan pengelolaan Borobudur sebagai kawasan
pariwisata prioritas melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur dan
Taman Wisata Candi Prambanan serta Pengelolaan
Lingkungan Kawasan. Sejak saat itulah
Candi Borobudur menjadi destinasi wisata khusus. Sejak tahun 2014
Borobudur ditetapkan sebagai salah satu dari 5 Destinasi Pariwisata Super
Prioritas (DPSP) selain Likupang, Mandalika, Danau Toba, dan Labuan Bajo.
Pemerintah juga telah mendorong pendirian Balai Ekonomi
Desa (Balkondes) sebagai tempat pertemuan, pentas seni budaya, dan tempat
menginap (guest house) yang dikelola
oleh masing- masing desa yang berada di Kecamatan Borobudur. Sayangnya, karena
tidak didasarkan pada kajian yang komprehensif, pemanfaatan Balkondes tersebut
belum berjalan dengan
baik hingga saat ini. Bahkan, sebagian Balkondes
tidak dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat desa karena berada pada posisi yang sulit dijangkau wisatawan
atau tidak menjadi pilihan.
Meskipun wisatawan ke Candi Borobudur terus meningkat,
namun
dampak positifnya bagi masyarakat lokal belum terlalu dirasakan hingga saat
ini. Hal ini terungkap dari kunjungan lapangan yang dilakukan oleh penulis di 20 desa yang terletak di Kecamatan
Borobudur.
Pengelolaan kawasan Borobudur sebagai DPSP seharusnya
melibatkan para pemangku kepentingan, khususnya masyarakat yang tinggal di
sekitar kawasan. Regulasi terkait tata kelola Candi Borobudur memiliki landasan
yang kuat terkait pelibatan masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2022
tentang Pendaftaran Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya telah
memasukkan masyarakat lokal sebagai mitra strategis dalam pelestarian cagar budaya seperti
Borobudur.
Keterlibatan masyarakat setempat sangat penting dalam pengelolaan situs cagar budaya
yang berkelanjutan. UNESCO
telah menerbitkan Guidelines on the
Conservation of Cultural Heritage yang wajib dipatuhi oleh negara yang
ingin mengajukan permohonan warisan
budaya suatu negara. Di dalam
Guidelines paragraf 39 dan 40 disebutkan tentang perlunya
keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan warisan budaya di suatu
negara.
Di sisi lain regulasi terbaru yang dterbitkan yaitu
Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Candi Borobudur di dalam isinya
justru belum melibatkan
masyarakat setempat. Diperlukan peninjauan kembali terhadap regulasi tersebut
yang mempertimbangkan peran masyarakat lokal. Masyarakat
lokal
merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Candi Borobudur dan kawasannya. Nilai-nilai positif dan kearifan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat lokal seperti budaya gotong royong, tenggang rasa, rukun, saling
menghargai perbedaan dan lain- lain merupakan modal sosial yang sangat penting
dalam pembangunan kawasan Borobudur. Penguatan modal sosial dalam tata kelola candi Borobudur dan kawasan harus menjadi perhatian utama bagi
seluruh pihak khususnya pembuat kebijakan.
Modal sosial berdasarkan pada kepercayaan, norma dan jaringan informal serta memandang relasi sosial sebagai
sumber daya yang penting (Bhandari
dan Yasihoubu: 2009).
Tata kelola Candi
Borobudur harus memperhatikan prinsip Pentahelix yang melibatkan seluruh pihak baik Pemerintah (pusat dan daerah), akademisi,
media, dunia usaha dan masyarakat. Penelitian dari Fathy (2019) menunjukkan
bahwa modal sosial mendorong partisipasi, akses dan aspirasi masyarakat dan
menjadi prinsip pembangunan inklusif yang berkelanjutan. Modal sosial akan berkembang
dengan baik apabila ada terus diperkuat dan digunakan dalam pengelolaan sebuah
kawasan.
Praktek baik yang dilakukan oleh Bapak Sucoro,
tokoh masyarakat di Kecamatan Borobudur melalui program kebudayaan Ruwat Rawat Borobudur yang melibatkan
seniman lokal tersebut harus terus diperkuat dan diperluas jangkauannya. Rangkaian kegiatan seni seperti: pentas drama, tari
kolosal, pembacaan puisi dan lainnya, sangat menyentuh akar budaya masyarakat. Pengelolaan
Borobudur
tidak dapat hanya sebatas pada sektor pariwisata, namun lebih jauh pada keterlibatan masyarakat lokal yang tinggal
di sekitar kawasan untuk dapat lebih berperan aktif dalam pengelolaannya.
Banyak sekali nilai- nilai budaya yang positif dan perlu terus digali.
Di sisi lain Kabupaten Magelang merupakan kawasan yang
memiliki kerentanan bencana yang cukup tinggi. Kabupaten tersebut dikelilingi
oleh lima gunung (Panca Arga), yaitu Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, Gunung Telomoyo dan
Pegunungan Menoreh. Gunung Merapi dan Gunung Merbabu masih aktif dan memiliki
potensi bencana baik letusan gunung berapi, gempa vulkanik, gempa tektonik, awan panas, hujan abu, lava, lahar dan gas racun.
Kondisi ini perlu diantisipasi dengan baik. Budaya tanggap bencana harus
menjadi satu kesatuan dalam kehidupan keseharian masyarakat di kawasan
tersebut.
Sikap waspada dan siap menghadapi bencana harus diwujudkan
dalam tindakan nyata seperti memahami potensi bahaya di sekitar rumah, seperti
daerah rawan banjir, gempa, atau gunung meletus, standar bangunan tahan
bencana, mengetahui rambu dan papan informasi bencana, sistem peringatan dini.
menyiapkan tas siaga bencana, mengetahui rute evakuasi dan pengungsian dan lainnya.
Di sinilah peran serta masyarakat lokal dibuituhkan dalam memperkuat edukasi bencana yang dilakukan secara konsisten dan terstruktur dapat
membantu menanamkan budaya tanggap bencana dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai budaya dapat
memperkuat edukasi bencana
yang
bagus untuk memahami kawasan
Magelang dan Borobudur secara menyeluruh.
Budaya tanggap bencana yang bagus akan memperkuat
resiliensi masyarakat terhadap risiko bencana yang terjadi. Pemahaman terhadap
budaya tanggap bencana yang bagus akan memperkuat resiliensi masyarakat. Di masa mendatang,
modal sosial masyarakat harus terus diperkuat dan menjadi faktor utama dalam
pelestarian cagar budaya beserta penguatan ekonomi dan budaya tanggap
bencana di kawasan Borobudur dan Magelang.
Nama |
: |
Sucoro Setrodiharjo |
Tempat Tanggal Lahir |
: |
Dusun Kenayan Desa Borobudur Kecamatan
Borobudur Kabupaten Magelang Jawa Tengah 28 September 1951 |
Alamat |
: |
Jalan Medang Kamolan No.7 Desa
Borobudur Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang Jawa Tengah |
Nama Orangtua |
: |
Setro Wikrama
dan Suwarsini |
Nama Isteri |
: |
Kusminah Asal Dusun Jumoyo Desa Jumoyo Kecamatan
Salam Magelang Menikah Tahun
1973 |
Anak |
: |
1.
Sri Yunaningsih 2.
Suprastio 3.
Sri Murdani 4.
Slamet Suwali 5.
Sudihari 6.
Eri Kusuma Wardhani 7.
Sapto Nugroho Adhi |
Biografi Sucoro Setrodiharjo
Cucu |
: |
1.
Andreas Gandhi Rakadhita 2.
Adelia Suprastio 3.
Sultan 4.
Mayang |
Pendidikan |
: |
Sekolah Rakyat Borobudur (Tahun
1959-1966) |
Organisasi Politik |
: |
Sekretaris PAC PDI Kecamatan
Borobudur (1977-2002) |
Organisasi Sosial Kemasyarakatan |
: |
1.
Ketua Forum Masyarakat Peduli Borobudur (1982) 2.
Ketua Forum Lintas Masyarakat
Peduli Borobudur (1987) 3.
Pendiri Ketoprak Langen Cipta Budaya
Borobudur dan Ketoprak
Anak-Anak Putra Langen Cipta Budaya Borobudur (1990-1996) 4.
Pendiri dan Wakil Ketua
Paguyuban Pengkios dan Jasa (Bina Sejahtera) di Taman Wisata Candi Borobudur (1990- 1993) 5.
Ketua Bidang Seni dan Budaya
Paguyuban Warga
Usaha Sambya Waharengboro Taman Wisata Candi
Borobudur (1999). |
|
|
6.
Pendiri Pusat Informasi dan
Diskusi Rakyat Warung Info Jagad Cleguk Borobudur (2003) 7.
Penggagas dan Penyelenggara Event Budaya Rakyat Ruwat Rawat Borobudur 8.
Pendiri Paguyuban Masyarakat Pecinta
Seni dan Budaya Borobudur (2005) 9.
Pendiri Sekolah Lapangan Kawasan
Borobudur (2007) |
Buku yang Ditulis |
: |
1.
Dari Luar Pagar
Taman Wisata Borobudur 2.
Bumi Karma Borobudur 3.
Harmoni Kehidupan Dalam Ruwat Rawat
Borobudur 4.
Imajinasi Peradaban Borobudur Dari Masa ke Masa 5.
Sinau Maca Kahanan 6.
Ajar Kanthi Nalar 7.
Pesan Alam Dalam Bumi Karma Borobudur 8.
Pustaka Aksara Borobudur 9. Borobudur Dalam Seribu Tradisi |
Posting Komentar