Borobudur Dalam Seribu Tradisi

(Melestraikan Tradisi dengan Sesaji )

JILID  1

 

Oleh

Sucoro- Amat Sukandar

 

Penyuting:

TIM RISET BRIN

TIM BUKU BOROBUDURKU

 

Desain Cover

dan Lay-out:

Eri Kusuma Wardhani

Sapto Nugroho

 

Penerbit:

Warung Info Jagad Cleguk

Jl. Medangkamolan 7 Borobudur

Email: ruwatrawatborobudur@gmail.com


 

    1. Undang-Undang        Republik Indonesia
    2. Nomor 19 Tahun 2002
    3. Tentang Hak Cipta


 

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2:

1.    Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau mem perbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Ketentuan Pidana

Pasal 72:

1.    Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak                    Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)                                                 

2.    Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamer kan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

 

 

  

DAFTAR ISI

 

Pengantar                                                      Hal     6

Borobudur Dan Tradisi Keagamaan Hal     8

Peran Brayat Panangkaran                           Hal   12

Desa Wringin Putih Dan Albino                   Hal   27

Sedekah Kedung Winong                              Hal   38

Sedekah Punthuk Setumbu                          Hal   43

Pengembangan Punthuk Setumbu              Hal   51

Sedekah Gunung Menoreh                           Hal   58

Sedekah Gunung Sepithik                             Hal   65

Sedekah gunung Mongkrong                        Hal   73

Menoreh Saksi Perjuangan P Diponegoro  Hal    82

Ritual Pasar Ngumandhang                         Hal   94

Langgar Tiban Kembanglimus                     Hal 100

Jamasan Bedhug Kuwu                                 Hal 108

Tetesan Dadah Kembar Mayang                  Hal 116

Saparan Candirejo                                         Hal 123

Gelar Budaya Wanurejo                                Hal 131

Genduri Budaya Bersama UNESCO             Hal 137

Bedhug Masjid Wanurejo                              Hal 143

Midhang di Pasar Kiringan                           Hal 151

Ritual “ Jolo Sutro “                                        Hal 156

Gubug Pak Bilal                                              Hal 165

Sedekah Sendhang Suruh                             Hal 170

Bendhe Penantang Perang                           Hal 181

Gamelan -Wayang Kuno                                Hal 188

Jamasan Pitutur                                             Hal 196

Tradisi Rabu Wekasan                                  Hal 202

Candi Gunung Wukir                                     Hal 207

Candi Gunungsari                                         Hal 214

Candi Losari                                                   Hal 220

Candi Ngawen                                               Hal 226

Candi Selo Griyo                                            Hal 232

Candi Umbul                                                  Hal 241

Letusan Merapi Merusak Candi                   Hal 247

Spiritualitas dan Budaya Borobudur           Hal 257

Ujian Mendirian Mbah Mbudur                   Hal 261

 

 

 

 

Pengantar

Buku Borobudur dalam Seribu Tradisi

 

Perkembangan pariwisata sebagai suatu industri, selain menimbulkan dampak positif terhadap pembangunan dan perolehan devisa negara, ternyata banyak pula menimbulkan ekses negatif terhadap pelestarian warisan budaya. Kebanyakan pengelola  pariwisata hanya memikirkan sisi komersialnya tanpa memperhatikan pelestarian atas bangunan cagar budaya serta norma-norma dan kearifan lokal yang semestinya diberlakukan. Banyaknya wisatawan yang datang masih menikmati keindahan bangunan fisik yang akan terus mengancam kerusakan. Sementara keagungan nilai spiritualitas universal Borobudur sebagai warisan budaya dunia yang lengkap dengan pengetahuan kehidupan terabaikan.

22 Tahun kami berpartisipasi menyelenggarakan kegiatan budaya rakyat bertajuk Ruwat Rawat Borobudur,  ternyata masih dirasa belum cukup dianggap sebagai peran masyarakat yang sadar akan pentingnya pelestarian nilai spiritualitas Borobudur yang selaras dengan cagar budayanya

Untuk itu melalui buku “Borobudur dalam Seribu Tradisi” yang merupakan rangkuman dari sejumlah kegiatan bincang budaya, Sarasehan Budaya ,bertema ”Menelisik Kebermanfaatan Nilai Spiritualitas Borobudur” ini kami  mencoba menyajikan informasi Potensi yang ada dan masih berkembang serta perkembangan dampak pariwisata, terhadap perkembangan tradisi budaya lokal yang pada umumnya hanya diukur dan  dikaitkan dengan sektor ekonomi. Tim penulis telah mengkaji dan menganalisis keragaman nilai-nilai Spiritualitas sebagai bentuk kongkrit pelestarian terhadap “prasasti sosial” yang ada dan berkembang di Kawasan Borobudur sebagai bentuk dari hasil karya cipta masyarakat yang kreatif di zamannya.

Di sisi lain penulis mencoba menghadirkan sekilas catatan dari data yang kami miliki 274 acara tradisi  yang kemi peroleh dalam penulis menghadiri kegiatan tradisi yang ada dan masih berkembang di seputaran Kawasan Borobudur . Tentu sajian ini masih belum sempurna , untuk itu mohon maaf atas ketidak sempurnaanya .Semoga buku ini menginspirasi keberlanjutan kelestarian dan kemanfaatan atas nilai spiritualitas sekaligus memberikan jalan keluarnya.



Borobudur

dan Tradisi Keagamaan

 

Borobudur warisan budaya bangsa yang diakui dunia dan memperoleh anugerah dari UNESCO sebagai world heritage. Borobudur sebagai warisan budaya yang dimaknai sebagai tangible dan intangible dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah kan. Borobudur sebagai warisan budaya tangible (berwujud) yang dimaknai sebagai bangunan cagar budaya yang dapat dilihat dan disentuh. Borobudur sebagai bangunan cagar budaya struktur bangunannya beurundak-undak dari tingkatan kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu yang pada puncak terakhir terdapat stupa induk suwung tidak berbentuk. Sedangkan Borobudur sebagai warisan budaya intangible (tidak berwujud) yang didalam nya terdapat kreatifitas, karya, cipta, rasa dan karsa masyarakat. Borobudur sebagai intangible mewarisi tradisi atau kebiasaan yang turun-temurun dikerjakan dan dilestari kan oleh masyarakat sekitarnya sebagai wujud interaksi mereka dengan alam maupun sesamanya bagi keberlangsungan dan keberlanjutan hidupnya. 

 Tradisi masyarakat Borobudur sebagai budaya yang melekat dan menyatu dalam pola pikir, sikap maupun perilaku salah satu diantaranya ialah tradisi keagamaan atau merti dusun/desa yang secara rutin setiap tahun dilaksanakan oleh masyarakat desa. Tradisi keagamaan dilaksanakan pada bulan-bulan Jawa/Islam yang memiliki sejarah, kisah atau keistimewaan bagi masyarakat Kawasan Borobudur. Tradisi keagamaan sebagai prasasti sosial desa yang mengidentifikasikan budaya kekhasan desa. Tradisi keagamaan dinilai dan dimaknai kramat, suci dan memberikan kebaikan dan keberkahan bagi masyarakat desa. Tradisi keagamaan yang diikuti oleh seluruh masyarakat desa dan dilaksanakan secara gotong-royong, guyup dan rukun. Tradisi keagamaan yang menunjuk kan keunggulan budaya lokal masyarakatnya, kondisi geografis sebagai wujud dari kearifan lokal Borobudur.

Tradisi keagamaan diwariskan dan dipraktek kan dari generasi ke generasi bukan hanya dimaknai sebagai event atau pentas budaya semata. Namun tradisi keagamaan itu memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang dipedomani, dijunjung tinggi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.  Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada tradisi keagamaan tersebut tercermin pada adat kebiasaan, budi pekerti, karakter sebagai penuntun perilaku sosial yang berlaku dalam kelompok masyarakat bagi keberlanjutan hidup. Nilai-nilai kearifan lokal pada tradisi keagamaan tersebut sebagai hasil interaksi dan interelasi dengan lingkungan dan antarsesama dan ditransformasikan dalam nilai dan norma yang hidup, tumbuh dan diimplementasikan dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan.

Tradisi keagamaan sebagai kebiasaan atau hasil pemikiran yang diwariskan oleh para leluhur sampai sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat Borobudur. Walaupun kebiasaan itu secara teknis telah mengalami perubahan, tetapi esensi dan nilai yang ter kandung di dalamnya tetap bernafaskan kearifan lokal Borobudur. Tradisi keagamaan yang tumbuh dan berkembang yang sarat dengan nilai kearifan lokal  dalam masyarakat memiliki fungsi: 1). Penanda identitas sebuah komunikasi; 2) perekat kohesi sosial lintas  lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan; 3) budaya yang ada dan hidup dalam masyarakat (bottom up); 4) wujud kebersamaan kelompok masyarakat yang tumbuh atas dasar kekeluargaan dan solidaritas. 

Tradisi keagamaan sebagai budaya yang melekat dalam masyarakat Borobudur yang dihubungkan antara nilai-nilai keagamaan dengan kearifan lokal. Setiap tradisi keagamaan terdiri dari rangkaian aktifitas yang menyatu dengan keyakinan dalam bentuk ritual/ upacara keagamaan, peng hormatan dan penghambaan. Tradisi keagamaan sebagai ungkapan dan ekspresi keseimbangan hubungan manusia dengan Maha Pencipta, antar sesama dan lingkungan.Tradisi keagamaan sebagai kebiasaan bagi masyarakat Borobudur yang ber budaya Jawa dan mereka memegang erat tradisi dan budaya Jawa yang penuh dengan upacara/ritual keagamaan. Tradisi keagamaan terimplementasi dalam ritual atau upacara keagamaan berkaitan dengan siklus hidup umat manusia sejak dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai kematian. Selain itu tradisi keagamaan juga ber kaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari agar dimudahkan dan dilancarkan hidup nya dalam mencari nafkah, dalam memenuhi dan menjalankan hajat/keperluan hidup, ketika akan bercocok tanam, menangkap ikan,memecah kayu,membangun rumah dan lainnya. Tradisi keagamaan memiliki makna sebagai doa dan harapan kepada Mahakuasa agar diberikan perlindungan dari segala macam bahaya, menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yangakan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia.

Tradisi keagamaan diikuti dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Borobudur agar senantiasa hidup selamat, tentram, aman dan rukun. Tradisi keagamaan terimplikasi dalam bentuk selamatan, Slametan sebagai simbol wujud bakti orang Jawa, selamatan juga bagian dari sebuah pangastuti kawulu kepada Gusti. Slametan dipandang sebagai tradisi abon-aboning panembah jati. Tradisi keagamaan masyarakat Borobudur beraneka ragam sesuai dengan budaya dan alam lingkungannya. Tradisi keagamaan masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dengan pinggiran Sungai memiliki karakter masing masing. Seperti tradisi keagamaan sedekah kedung winong di pinggiran Sungai Progo dilaksana kan oleh masyarakat Dusun Gelyoran Desa Sambeng sebagai wujud kelestarian dan keseimbangan alam Sungai Progo. Bagi masyarakat dusun Gleyoran, Sungai Progo beserta ekosistemnya memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup mereka. Kedung Winong sebagai tempat mencari nafkah bagi masyarakat Gleyoran mencari bebatuan, menangkap ikan dan sekarang wisata air.

Namun tradisi keagamaan Borobudur sebagai kebiasaan dan simbol kebersamaan yang telah diwariskan oleh leluhur lambat laun telah hampir punah dan terkikis oleh zaman. Tradisi keagamaan Borobudur yang marwahnya sebagai wujud kesadaran dan kegotong royongan seluruh masyarakat yang turut serta melaksanakan dan mengikutinya, namun dengan pola hidup yang pragmatis dan serba instant telah merenggangkan kohesi sosial yang ada. Tradisi keagamaan yang mengisyaratkan karakter dan identitas suatu desa dan sebagai prasasti sosial desa perlahan-lahan dibiaskan oleh terputusnya informasi yang tidak bersambung dan tidak didasarkan oleh fakta sejarah. Tradisi keagamaan Borobudur sekarang ini hanya sebatas formalitas diadakan dan diagendakan oleh kantor desa dan hanya berbentuk event kegiatan sehingga hilang marwah dan nilai-nilai luhur spiritualitasnya.

Oleh karena itu sebagai upaya melestarikan eksistensi dan marwah tradisi keagamaan Borobudur, maka Sucoro melalui kegiatan Ruwat Rawat Borobudur telah berhasil menyelenggarakan dan mengabadikan tradisi keagamaan yang hidup dan berkembang di Kawasan Borobudur. Sucoro mendokumentasikan, menuliskan, meng inventarisir dan mempublikasikan seluruh tradisi keagamaan yang ada di Borobudur  dalam sebuah buku yang berjudul ‘Borobudur Dalam Seribu Tradisi. Buku karya fenomenal yang dipersembahkan oleh Sucoro Pecinta dan Pelestari Borobudur ini berisikan seluruh rangkaian tradisi keagamaan yang ada di Borobudur. Buku ini  nantinya dapat sebagai Pustaka dan Pujangga bagi generasi berikutnya untuk tetap menjaga dan melestarikan marwah Borobudur sebagai world heritage warisan budaya leluhur bangsa.   

 

 

Novita Siswayanti

Magelang  Agustus 2024

 

 

 

 

 

 

PERAN BRAYAT PANANGKARAN               DALAM MELESTARIKAN KOHESI SPIRITUALITAS BOROBUDUR

 

Candi Borobudur adalah kekayaan warisan budaya yang mengandung berbagai nilai yaitu filsafat, ilmu pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku masyarakat pada masa lalu. Candi Borobudur juga merupakan perpaduan situs pusaka warisan budaya dengan seni, kosmologi, tata ruang serta mitos yang  menyimpan makna dan dimensi yang sangat bernilai. Oleh karena merupakan hasil dari pemaknaan tradisi spiritualitas yang melibatkan berbagai pengetahuan budaya dan kepekaan masyarakat terhadap suatu lingkungan budaya menjadi dasar pendiriannya.

Pergulatan ialah bagian dari proses kehidupan dari sebuah perjuangan panjang yang tidak pernah henti. Selama manusia masih dapat bermimpi, masih bisa berharap, pergulatan itu pun tidak akan pernah berakhir.

Awal sejarah manusia atau zaman pra-aksara, pergulatan hidup itu pun sudah ada dan akan terus mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan manusia,salah satunya aspek kepercayaan. Pada masa lalu kepercayaan masih disebut sebagai kapitayan. Dahulu manusia belum mengenal nama Sang Pencipta, oleh karena itu manusia melakukan pemujaan kepada benda-benda, manusia hidup di goa, menyembah rimba, kayu, batu hingga menyembah gunung.Manusia semakin sadar bahwa kehidupan nya juga dipengaruhi oleh air dan mereka pun menyembah air, menyembah makhluk yang ada didalamnya, Dan manusia mulai paham bahwa kehidupannya juga berkawan dengan binatang.

Pergulatan kehidupan itu terus bergeser dan manusia mengenal cocok tanam, mereka pun meyakini bahwa bumi mempunyai peran penting dalam kehidupannya. Mereka mulai memahami jika kesuburan tanaman tersebut bergantung kepada hujan dari langit yang ada di atasnya.Laju perubahan pergulatan kehidupan yang mereka alami seraya memberikan petunjuk akan keberadaan Sang Pencipta.

Jejak kehidupan manusia masa lalu sudah mengenal adanya kekuatan besar dan sebaliknya, di alam semesta, juga kekuatan individu yang bila diterjemahkan sekarang kekuatan besar individu tersebut sebagai kekuatan “spiritualitas”. Hal tersebut telah mendorong munculnya kepercayaan yang disebut sebagai “kapitayan” Kepercayaan tersebut terus berkembang hingga mengenal agama,seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik.

Agama Hindu dan Budha merupakan agama yang berasal dari India, Kristen dan Katolik dari Palestina, sedangkan Islam dari negara Arab.Agama Hindu dan Budha datang di Tanah Jawa yang sebelumnya masyarakatnya telah menganut kepercayaan “kapitayan” yang jauh lebih awal dibanding agama Islam, Kristen dan Katolik. Sejarah yang mengungkap keterkaitan yang sangat erat antara masyarakat Jawa Kuna dimasa pendirian Candi Borobudur dengan wilayah lain memperjelas keter hubungan antarmanusia di zaman itu. Untuk itu makna relief Candi Borobudur menggambarkan tentang pengetahuan kehidupan kapitayan yang kisahnya diambil dari perjalanan Sang Budha di Zaman Mataram Kuno.

Seiring dengan perjalanan waktu keinginan manusia untuk mencari Sang Pencipta terus mempengaruhi pemikiranya. Kebenaran yang bersifat spiritual untuk menemukan bukti keberadaan Sang Pencipta terus dicari melalui ulah laku budaya. Meditasi, berkontemplasi di berbagai tempat sepi yang dianggap mampu menghubungkan energi spiritual antara manusia Tuhan Sang Pencipta melalui alam terus dicari di berbagai tempat

Pilihan tempat untuk melakukan meditasi, tentu banyak pertimbangan banyak pula yang diperhitungkan, salah satunya adalah arah mata angin atau kiblat. Konsep untuk membangun sarana puja, tempat meditasi, maupun sembahyang dianggap sebagai tempat “suci” atau tempat yang  diharapkan mampu menghubungkan ulah-laku kebatinannya yang dibahasakan sebagai “spiritualitas” antara manusia dan Tuhan melalui alam semesta.

Arah atau kiblat menjadi pertimbangan penting dalam menentukan tempat sarana puja. Semisalnya arah tempat meditasi menghadap ke Timur, sedangkan pelaku meditasinya menghadap ke Barat (Kiblat arah Barat), yang disimbolkan akan pentingnya manusia membangun kehidupan dan kesejahteraan yang seimbang dengan spiritual. Sedangkan Utara ialah dimensi kesuburan alam semesta dengan kesuburan pertanian, Arah Timur yaitu ekonomi perdagangan, sedangkan arah selatan adalah sosial dengan bentangan alam yang hijau seraya memberikan kesan ketentraman dan kedamaian.

Salah satu tempat yang dianggap mampu menghubungkan energi spiritual adalah di “Bumi Sambhara Budhara”. Banyak orang menengarai bahwa nama asli Borobudur ialah Bumi Sambhara Budhara yang diambil dari Bahasa Sansekerta yang diartikan sebagai bukit himpunan kebacikan sepuluh tingkatan bodhisatwa. Sedangkan Borobudur dari kata “boro dan bedhuhur” boro diartikan sebagai vihara dan bedhuhur ialah tempat yang tinggi.

Terlepas kebenaran dari asal usul penamaan Borobudur saya yakin bahwa sebelum Borobudur dibangun oleh Raja Wangsa Syailedra, ditempat itu sudah ada masyarakat Jawa yang tinggal dan menjalani kehidupan dengan menganut kepercayaan “kapitayan”.

Oleh karena itu ungkapan-ungkapan pada relief Candi Borobudur mempunyai hubungan erat dengan kehidupan masyarakat Jawa Kuno, Hal tersebut terbukti pada panel relief yang menunjukkan aktifitas keseharian manusia dengan lingkungan alam, salah satu contohnya adalah aktifitas masyarakat petani lengkap dengan penggambaran lumbung padinya. Kesejahteraan masyarakat di zaman itu dilukiskan melalui batu pahatan. Pemahat mengekpresikan/menyampaikan pesan-pesan dalam simbol-simbol, seraya memberikan panduan-panduan tentang sejarah kehidupannya di masa lalu dan yang sedang dihadapinya.

Bentuk bangunan Candi Borobudur melambangkan alam semesta dalam kosmologi Budha Mahayana. Alam semesta dibagi menjadi tiga tingkatan Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Kamadhatu disebut juga sebagai Karmawibangga yang reliefnya menceritakan tentang hukum karma (sebab-akibat). Pada tingkatan Rupadhatu - Arupadhatu sudah tidak ada lagi relief, tetapi adanya stupa yang menggambarkan prilaku manusia yang sudah mulai meninggalkan keinginan duniawi.

Kamadhatu atau Karma Wibangga berasal dari Bahasa Sansekerta yang mengandung makna, yaitu: “Karma adalah perbuatan sedangkan Wibangga adalah bhanga atau candu” Karmawibhangga berarti perbuatan yang merusak atau perbuatan buruk. Kamadhatu meng gambarkan perilaku manusia ketika lahir menjalani proses kehidupan yang tidak akan lepas dari nafsu baik dan buruk Rupadhatu berasal dari kata “Rupa” atau bentuk, berarti perjalanan kehidupan manusia telah mulai meninggalkan bentuk yang bersifat keduniawian. Arupadhatu artinya bahwa perjalanan kehidupan manusia sudah meninggalkan bentuk keduniawian menuju ke alam “Nirwana”.

Sejarah memberikan panduan keterkaitan, benang merah antara masa kini dengan masa lalu melalui jendela-jendela yang berupa naskah-naskah kuna maupun relief pahatan batu yang memberikan informasi tentang kehidupan masyarakat sekitar Borobudur di masa lalu. Naskah-naskah kuna yang ditulis oleh para “Pujangga” seperti primbon, candrasengkala, serat babad dan Seterus nya sangat membantu dalam memaknai simbol-simbol sebagai pesan yang harus disampaikan kepada generasi mendatang.

Pemaknaan sebagai pesan melalui simbol-simbol yang ditorehkan pada relief batu pahatan mempunyai arti filosofi sebagai ungkapan pengetahuan kehidupan di zaman itu. Selanjutnya untuk mengetahui makna yang dilukiskan pada dinding-dinding Candi Borobudur harus dibaca ke arah sesuai arah jarum jam yang dikenal dengan istilah pradaksina.

Pradaksina merupakan bentuk penghormatan yang dilakukan dengan berjalan mengitari Candi Borobudur dilakukan secara bersama. Sambil berjalan dengan sikap tangan “Anjali” sebanyak tiga kali putaran sambil membaca do’a terus berjalan searah jarum jam diartikan sebagai laku yang memunculkan nilai luhur dalam bathin kita. Nilai kesabaran, keikhlasan, ketulusan dan semua perbuatan baik yang senantiasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Borobudur menjadi sebuah tempat pemujaan atau tempat untuk mencari pencerahan juga sebagai tempat belajar ilmu kehidupan yang terletak di dataran tinggi atau punden berundak yang ada ditengah-tengah danau.

Keagungan Borobudur tidak hanya tercermin dari kemegahan,keindahan,keunikan arsitektur bangunannya semata Tetapi dari sisi tempat keberadaan Borobudur sudah sangat mempengaruhi bahwa tempat tersebut adalah tempat yang sakral. Punden berundak yang berada di tengah Danau juga menjelaskan bahwa tempat itu adalah tempat yang “suci”. Tempat yang diyakini dapat menghubungkan energi spiritualitas manusia, alam dan Tuhannya.

Borobudur dipahami sebagai sebuah Maha-nya kitab dari batu berundak yang menyajikan ajaran-ajaran kehidupan manusia. Kitab kehidupan terlukis secara visual  yang universal dan dapat pelajari oleh semua orang tidak dibatasi suku, ras, golongan, atau agama. Kitab kehidupan yang tidak akan pernah berubah dalam ketentuan waktu.

Candi Borobudur merupakan situs pusaka dengan seni, tata ruang, kosmologi, dan mitosnya menyimpan makna, sejarah dan dimensi yang sangat bernilai. Keberadaan candi dan situs sosial merupakan hasil dari tradisi spiritualitas  dan budaya yang diartikan sebagai prasasti sosial yang dihasilkan melalui proses yang begitu panjang yang melibatkan berbagai pengetahuan budaya dan kepekaan masyarakat terhadap suatu lingkungan nya. Situs-situs bersejarah juga mampu menjadi sumber untuk belajar dan mengalami berbagai sifat-sifat tata ruang, waktu dan kondisi yang sekaligus dapat menjadi sumber inspirasi kreatif di zamannya. Oleh sebab itu candi Borobudur serta candi-candi lainya  tentunya menjadi kekayaan budaya yang mengandung berbagai nilai filsafat, pengetahuan, adat istiadat,kearifan lokal,serta prilaku masyarakat masa lalu.

Demikian halnya dengan penamaan suatu tempat suci, penamaan tempat-tempat itu sangat diperhitungkan sebagai tempat yang dapat menghubungkan manusia, alam dan Tuhan serta efek-efek cahaya, musim, maupun sosial-ekonomi. Seperti Candi Mendut yang berasal dari nama Venu Vana Mandira yang artinya candi di tengah rumpun bambu.  Candi Pawon juga memiliki nama lain yaitu Candi Bajranala atau Vajranala dimana kata ini berasal dari dua kata yaitu kata vajra yang bermakna halilintar dalam bahasa Sansekerta, dan kata nala yang artinya api.

Demikian halnya dengan penamaan dusun, desa, grumbul, hingga nama daerah setingkat kecamatan sebagai simbol prasasti sosial sangat diperhitungkan keberadaannya. Semisal nama Dusun Bumi Segoro berasal dari kata Bumi Sambhara Budhara, Sayangnya penamaan Dusun/Desa yang ada disekitar kawasan Borobudur tersebut hingga kini masih misteri, masih jarang disentuh dan dikaji asal-usul penamaannya dari pemahaman budaya masyarakat atau alam sekitarnya. Menurut saya penamaan tempat-tempat tersebut dapat dijadikan motivasi dan referensi dalam rangka membangun budaya Jawa Nusantara  di masa mendatang juga usaha pengembangan dunia pariwisata yang saat ini sedang mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah.

Dengan demikian pula kolaborasi seni dan budaya yang bersumber dari alam kehidupan masyarakat  dan bangunan candi yang penuh dengan makna spiritual kehidupan akan dapat memperkaya sejarah hidup yang dapat mendukung karya kreatif antar masyarakat tradisional dan masyarakat modern yang beragam dalam budaya, suku, ras dan agama, termasuk  situs pusaka di seluruh dunia dengan masing-masing mitos dan cerita. Hal ini menarik untuk membangun inspirasi terkait dengan kualitas budaya etnik di masa kini, misalnya melalui gelar “Sendratari Kidung Karma Wibangga“.“Sendratari Kidung Karma Wibangga“.

Kidung Karma Wibangga ialah sebuah garapan sendratari yang mengambil cerita nberdasarkan prasasti social yang ada pada Desa/Dusun yang dipadukan dengan relief yang paling bawah pada  Candi Borobudur (tingkat Kamadhatu atau Karma Wibangga ), yang mengisahkan tentang Hukum Sebab Akibat. Dengan berbasis kesenian rakyat yang ada dan berkembang di tengah kehidupan kesenian masyarakat di sekitar Kawasan Borobudur, sendratari Kidung Karma Wibangga merupakan karya kreatif masyarakat yang belum dikembangkan secara maksimal. Ini merupakan bukti bahwa masyarakat mampu berperan secara aktif dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya sebagai sumber daya budaya yang telah digali dan dikembangkan sesuai dengan bidangnya.

Kekayaan alam dan keanekaragaman budaya yang mempesona tersebut merupakan modal dasar yang dapat dikembangkan dan diarahkan menjadi obyek dan daya tarik wisata untuk dipromosikan menjadi daerah tujuan wisata dunia. Sehingga pariwisata menjadi sektor andalan yang mampu mendorong dan menggalakkan kegiatan ekonomi dan penerima an devisa dengan perluasan usaha dan kesempatan kerja. Disamping itu juga sebagai pendorong persatuan dan kesatuan nasional, persahabatan dan perdamaian antar bangsa di dunia yang sekaligus ikut berperan serta dalam upaya melestarikan Warisan Budaya Agung, Candi Borobudur.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                               

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Post a Comment

أحدث أقدم