Pesan Alam Dalam Bumi Karma
Borobudur
(Sapa
Gawe Nganggo)
Oleh
Sucoro
Editor:
Novita Siswayanti, MA
Desain Cover
dan Lay-out:
Eri Kusuma Wardhani
Sapto Nugroho
Penerbit:
Warung Info Jagad Cleguk
Jl. Medangkamolan 7 Borobudur
Email: ruwatrawatborobudur@gmail.com
ISBN
978-602-53877-2-2
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor
19 Tahun 2002
Tentang
Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal
2:
1.
Hak
cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau mem perbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal
72:
1.
Barang
siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah)
2.
Barangsiapa
dengan sengaja menyiarkan, memamer kan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
DAFTAR ISI
Bab 1
Prolog Hal 8
Pesan Alam Dalam Bumi Karma Borobudur Hal 9
Bab 2
Pergulatan Dan Perjuangan Dalam Mencari Jati Diri.
Hal 13
Penemuan kembali Borobudur Hal 25
Pesan Alam Dalam Bumi Karma Borobudur Hal 32
BAB 3
Peledakan Bom di Borobudur Hal
35
Nasipku Hal 56
Kaget Hal 69
Dijemput lagi Hal 74
Kapan Aku Bebas?
Hal 82
BAB 4
Pagar Pembatas Hal 90
Kisah Jalan Kehidupan Yang Tertutup Hal
95
Aksi Mogok Makan Hal 102
Mengadukan Ke LBH Hal
106
BAB 5
Death Monument Borobudur
Hal 110
Usaha Mempertahankan Nilai Spiritualitas Hal
122
Ada Gula Ada Semut ( Nasip Pedagang Asong )Hal 127
Keresahan Warga Jl Medangkamolan
Hal 135
Harapan Yang Terselip di Sela-sela Batu Hal
140
Sekilas Anganku Hal
144
Malam itu Hal
151
Rembuk Warga Masyarakat Borobudur Hal
158
Kirim Surat Ke Gubernur
Hal 162
BAB
6
Pasar
Seni Jagad Jawa Hal 169
Aksi
Tutup Mulut Hal 171
Minta
Bantuan Hukum ke LBH Yogyakarta
Hal 174
Kualitas
Pengunjung Hal 178
Tim
Mediasi Hal 180
Meditation
corner Hal 163
Kenangan
Peristiwa Jagad Jawa Hal 186
BAB
7
Warung
Info Jagad Cleguk Hal190
Gagasan
Membuat Warung Informasi Hal191
Dua Tahun Warung Info Jagad Cleguk Hal 194
Diskusi
Kepres No 1 Th 1992 Hal 204
Sarasehan
Budaya Hal209
Seminar
Grassroot Hal 214
Mirunggan
Pasar Rakyat Hal 219
Posko
Informasi Lebaran Hal 224
Tempat
Begadang Dan Acara Tradisi Hal 227
Kesaksian
Borobudur Hal 233
BAB
8
Peran
Warung Info- Brayat Panangkaran
Hal 235
Sradha Hal 251
Sedkah
Punthuk Setumbu Hal 256
Sedekah
Kedung Winong Hal 265
Ritual
Umbul Donga Hal 269
Selamatan
Borobudur Hal 272
Sekolah
Lapangan Kawasan Borobudur Hal 277
Potensi
Budaya Dan Peran Masyarakat Hal 286
Belajar
Memahami Alam Hal 292
BAB
9
Epilog Hal296
Buku
Pesan Alam dalam Bumi Karma Borobudur
(Sapa Gawe Nganggo)
ini merupakan buku revisi dari buku sebelumnya berjudul “Bumi Karma
Borobudur”. Buku ini secara lengkap bertutur tentang sejarah pengelolaan warisan Budaya Borobudur,tentunya
dengan cara pandang serta pengetahuan yang saya alami sebagai warga
masyarakat yang tinggal tidak jauh dari keberadaan candi Borobudur. Kebetulan
saya sendiri mengalami sejak awal perubahan pengelolaan.
Penuturan tentang sejarah pengelolaan
tersebut telah saya tuturkan pada Buku sebelumnya berjudul “Dari Luar Pagar Taman Borobudur”.Kemudian
secara bersambung pada buku ini akan saya tuturkan dengan tema-tema terkini.
Semoga Buku ini dapat menambah kepustakaan world
heritage dalam sejarah pengelolaan Borobudur sebagai Warisan Budaya Dunia.
Terima kasih
Penulis (Sucoro)
BAB 1
Prolog
Prolog
Oleh Dedi Supriadi Adhuri
(Pusat Riset Masyarakat dan Budaya,
BRIN)
Status Candi Borobudur sebagai Warisan Budaya Dunia (World
Heritage) dengan rekognisi dari The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), adalah bukti pentingnya candi
ini sebagai sebuah representasi keluhuran budaya Indonesia. UNESCO melalui
laman resminya mencatat Universal
Outstanding Value Candi Borobudur
dan kawasannya sebagai berikut (https://whc.unesco.org/en/list/592#SnippetTab): 1. Borobudur, dengan tangga-tangganya, dengan
wujud piramid yang tak beratap, dengan
sepuluh undakan dan teras dan dengan mahkota stupanya merupakan
perkawinan harmonis stupa, candi dan gunung. Itu semua merupakan karya
arsitektur Buddha dan seni monumental; 2. Kompleks Candi Borobudur adalah
contoh luar biasa dari seni dan arsitektur Indonesia dari antara awal abad ke-8
dan akhir abad ke-9 yang memberikan pengaruh besar pada kebangkitan arsitektur
antara pertengahan abad ke-13 dan awal abad ke-16; dan 3. Ditata dalam bentuk
teratai, bunga suci Buddha, senyawa Candi Borobudur adalah cerminan luar biasa
dari perpaduan gagasan yang sangat sentral tentang pemujaan leluhur pribumi dan
konsep Buddha untuk mencapai Nirwana. Sepuluh teras pemasangan dari seluruh
bangunan sesuai dengan tahap-tahap berturut-turut yang harus dicapai
Bodhisattwa sebelum mencapai Kebuddhaan.
Dengan nilai seperti itu,
tentu tidak heran Borobudur menjadi magnit yang menarik atensi banyak pihak dan
kunjungan dari jutaan manusia yang datang dari segala penjuru bumi. Tuntutan
yang menjadi konsekuensi ini adalah pengelolaan yang baik dan optimal. Pengelolaan dalam konteks ini meliputi rekonstruksi utuh, koservasi,
pemeliharaan dan berbagai wujud
pemanfaatannya. Dalam konteks pengelolaan inilah -- sejak Borobudur ditemukan
kembali dan dibersihkan pada jaman colonial (1804- 1930) dilanjutka restorasi
dan pengelolaan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1950an sampai saat ini—
kita bisa melihat berbagai masalah. Ternyata merancang, mengeimplementasikan
dan mengevaluasi pengelolaan candi
Borobudur tidaklah mudah. Berbagai penelitian dan publikasi telah menunjukan
kompleksitas dan persoalan-persoalan itu.
Salah satu masalah pada pengelolaan
Borobudur adalah rekonstruksi Borobudur yang lebih terfokus pada wujud fisik
(nilai tangible), pemanfaatan candi
dengan fokus berat pada pengembangan turisme serta pendekatan
pengelolaan yang berbasis pemerintah (government-base)
dan top-down. Akibat dari
realitas di atas adalah
marginalisasi nilai-nilai tak
benda (intangible values) dan
komunitas lokal. Ironinya, sebenarnya, justru jika pemerintah memperhatikan dan
berkolaborasi dengan komunitas lokal, maka
pemahaman tentang intangible values Borobudur akan berkembang dan
tugas-tugas berat pengelolaan bisa dibagi bersama komunitas. Mengapa demikian,
karena, setidaknya sebagian dari intangible values dari Borobudur masih
dikembangkan oleh komunitas-komunitas di sekitarnya.
Dalam konteks pembicaraan di
atas, tulisan Pak Sucoro yang disajikan pada buku ini, akan memberikan gambaran
dan contoh-contoh dari hal-hal di atas, yaitu
persoalan-persoalan pengelolaan Candi Borobudur, marijinalitas intangible
values dan komunitas lokal. Pengalaman-pengalaman pribadi maupun komunitas
di sekitar Candi Borobudur ditulis pak
Sucoro pada buku ini menggambakan secara
gamlang persoalan marjinalitas ini.
Selain itu, penyelenggaraan
Ruwat-rawat Borobudur yang pada awalnya merupakan gerakan resistensi terhadap
pendekatan pengelolaan berbasis pemerintah, telah berkembang menjadi ekspresi
dan rervitalisasi nilai-nilai tak benda
Borobudur. Sebenarnya, jika ini diakomodasi dan dikapitalisasi oleh pemerintah,
maka pengelolaan Borobudur tidak hanya akan lebih ringan, karena ditanggung
Bersama, tetapi juga akan lebih optimal dan berkeadilan.
Dengan catatan di atas, saya
mengantarkan pembaca untuk membaca untuk menikmati tulisan pak Sucoro ini. Bagi
mereka yang terlibat pada pengelolaan Candi Borobudur, refleksi atas buku ini, saya yakin akan bermanfaat untuk
dijadikan bahan pengembangak pengelolaan yang lebih baik dan lebih berkeadilan.
Kuta, 14 Januari 2024
Pesan Alam Dalam
Bumi Karma
Borobudur
Oleh Sucoro
Alhamdulillah Gerakan Budaya Rakyat
Borobudur pada Tahun 2024 ini telah mencapai kegiatan yang ke-22 tahun. Secara
kronologis lahirnya gerakan budaya rakyat Ruwat Rawat Borobudur
diinisiasi oleh Bapak Sucoro yang secara terus menerus diselenggarakan dan
dikawal oleh penulis buku ini.
Gerakan Budaya Ruwat Rawat Borobudur
sebagai respon terhadap Gerakan komplementer pengelolaan Borobudur yang
berorientasi kepada komersialisasi pariwisata menihilkan pelestarian nilai
spiritualitas Borobudur, kebijakan secara top-bottom dan lebih kepada sentralistik,
mengabaikan aspirasi dan tidak memberdaya kan dan tidak melibatkan partisipasi
masyarakat sebagai subjek budaya telah berdampak pada sulitnya menentukan
kebijakan
Penulis adalah warga Borobudur yang
sebelumnya tergusur atas pembangunan Taman Wisata. Penulis memandang bahwa Borobudur ialah sumber daya
budaya dan alam yang mesti dijaga, dirawat dan dilestarikan. Bukan hanya dikeruk,
dieksploitasi, dimanfaatkan untuk kepentingan yang hanya sekedar mengacu untung-rugi. Sehingga dengan Borobudur
mereka memperoleh hasil sebanyak-banyaknya dan keuntungan
sebesar-besarnya. Borobudur sebagai destinasi pariwisata yang dapat
mendatangkan kebermanfaatan bagi mereka yang cerdas memanfaatkannya
Disisi lain komunitas setempat yang
dikoordinasikan melalui Gerakan Budaya
Rakyat Ruwat Rawat Borobudur justru semakin mampu
menghayati kharisma spiritualitas warisan budaya itu. Hal ini jelas terbukti
dalam penuturan dan kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas Brayat Panangkaran
Borobudur yang sarat dengan ekspresi spiritualitas hadir di Kawasan Borobudur.
Spiritualitas yang layak menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua.
Sesederhana apa pun itu pelestarian cagar budaya dan pembangunan bukanlah
sesuatu yang saling bertentangan. Keduanya bisa saling mendukung atau
bersinergi dalam pendekatan pembangunan berwawasan pelestarian. Pandangan ini
setidaknya pantas diperjuangkan dalam upaya pengembangan Destinasi pariwisata
Borobudur
Buku Pesan Alam dalam
Bumi Karma Borobudur yang ada di hadapan pembaca ini mengungkapkan sisi
lain dari kenyataan yang ada di sekitar candi Borobudur. Serta rekaman ingatan
dan catatan Penulis dari kegiatan yang selama ini dilakukan oleh Penulis dan kawan-kawan.
Kemudian dituturkan, ditulis dan disajikan dihadapan pembaca. Kami yakin dan
sadar diri, bahwa isi buku ini masih terlalu kecil dibanding kebesaran nilai
spiritualitas yang terkandung dalam Borobudur. Untuk itu kesimpulan dan
penafsiran saya serahkan sepenuhnya kepada pembaca yang Budiman
Terimakasih
Penulis
BAB 2
Pergulatan hidup
Pergulatan
dan Perjuangan Dalam Mencari Jatidiri
Pergulatan ialah bagian dari proses kehidupan dari sebuah
perjuangan panjang yang tidak pernah henti. Selama manusia masih
dapat bermimpi, masih bisa berharap, pergulatan itu pun tidak akan pernah
berakhir.
Pergulatan
bisa berupa pertarungan antara hidup dan mati, antara idealitas dan realitas,
antara impian dan kekecewaan,antara yang hakiki dan fana, antara substansi dan
absurditas, antara kontekstual dan tekstual. Itu akan akan terjadi terus-menerus
mencari jawaban, dan tidak kenal lelah, selalu saja mempunyai daya support,
setiap hari pasti tumbuh benih-benih baru pergulatan kehidupan dengan tema yang
berbeda.
Pergulatan
tidak membatasi usia, jenis kelamin, baik yang hidup di kota maupun di desa.
Mungkin yang membedakan hanya “ritme” pergulatan, ketika manusia itu ada dan
menjalani proses kehidupannya.
Demikian juga
kehidupan awal sejarah manusia atau zaman praaksara, pergulatan hidup itu pun
sudah ada dan akan terus mempengaruhi berbagai aspek dalam
kehidupan manusia, salah satunya aspek kepercayaan. Pada masa
lalu kepercayaan masih disebut sebagai kapitayan. Dahulu manusia
belum mengenal nama Sang Pencipta, oleh karena itu manusia melakukan pemujaan kepada
benda-benda, manusia hidup di goa, menyembah rimba, kayu, batu hingga menyembah
gunung. Manusia pun semakin sadar bahwa kehidupannya juga dipengaruhi oleh air,
dan mereka pun menyembah air, menyembah makhluk yang ada didalamnya, Dan
manusia mulai paham bahwa kehidupannya juga berkawan dengan binatang.
Dan ketika
pergulatan kehidupan itu terus maju dan bergeser ke zaman bercocok tanam,
mereka pun meyakini bahwa bumi mempunyai peran penting dalam kehidupannya.
Mereka mulai memahami jika kesuburan tanaman tersebut bergantung
kepada hujan dari langit yang ada di atasnya.Laju
perubahan pergulatan kehidupan yang mereka alami seraya memberikan
petunjuk akan keberadaan Sang Pencipta.
Sejarah
merupakan catatan rekam jejak kehidupan manusia atau peradaban manusia di masa
lalu yang didalamnya terdapat proses perubahan sebagai pergulatan kehidupan
yang terjadi yang meliputi realitas dan sebab akibatnya, Salah satu rekam jejak
peradaban kehidupan manusia masa lalu yang menjalani kehidupannya di Tanah
Jawa telah banyak ditafsirkan dan ditulis di berbagai buku sejarah
dan jurnal sebagai bukti nyata kejayaannya.
Dimana
kehidupan manusia masa lalu sudah mengenal adanya kekuatan besar dan
sebaliknya, di alam semesta, juga kekuatan individu yang bila diterjemahkan
sekarang kekuatan besar individu tersebut sebagai kekuatan “spiritualitas”.
Hal tersebut telah mendorong munculnya
kepercayaan yang disebut sebagai “kapitayan” Kepercayaan tersebut
terus berkembang hingga mengenal agama,seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen,
dan Katolik.
Agama Hindu dan Budha merupakan agama
yang berasal dari India, Kristen dan Katolik dari Palestina, sedangkan Islam
dari negara Arab. Agama Hindu dan Budha datang di Tanah Jawa yang sebelumnya
masyarakat nya telah menganut kepercayaan “kapitayan” yang jauh lebih
awal dibanding agama Islam, Kristen dan Katolik. Sejarah yang mengungkap keterkaitan yang sangat erat
antara masyarakat Jawa Kuna dimasa pen dirian Candi Borobudur dengan wilayah
lain memper jelas keterhubungan antarmanusia di zaman itu. Untuk
itu makna relief Candi Borobudur menggambarkan tentang pengetahuan kehidupan kapitayan
yang kisahnya diambil dari perjalanan Sang Budha di Zaman Mataram Kuno.
Walaupun
kepercayaan itu telah berkembang menjadi agama, namun tetap masih banyak orang
yang mempercayai/mempraktikkan kekuatan benda-benda, pusaka dan “roh”
nenek moyang menjadi bagian dari kehidupannya.Seiring perjalanan waktu,paham
kapitayan pun terus bergeser, sesaji-sesaji yang dahulu dipercaya sebagai “tumbal”
persembahan kini disebut sebagai bentuk ucapan terima kasih. Dan melalui
berbagai acara tradisi persembahan atau sesaji itu dipersembahkan sebagai
ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa serta alam sebagai
perantaranya.Dan apa yang dilakukan oleh manusia pada masa lalu disebut sebagai
“ulah-laku budaya.”
Seiring
dengan perjalanan waktu keinginan untuk mencari Sang Pencipta terus
mempengaruhi pemikiran manusia.Kebenaran yang bersifat spiritual untuk menemu
kan bukti keberadaan Sang Pencipta terus dicari melalui ulah laku budaya.
Meditasi, berkontemplasi di berbagai tempat sepi yang dianggap mampu
menghubungkan energi spiritual antara manusia Tuhan Sang Pencipta melalui alam
terus dicari di berbagai tempat
Pilihan
tempat untuk melakukan meditasi, tentu banyak pertimbangan banyak pula yang
diperhitungkan, salah satunya adalah arah mata angin atau kiblat. Konsep untuk
membangun sarana puja, tempat meditasi, maupun sembahyang dianggap sebagai tempat “suci” atau tempat yang
diharapkan mampu menghubungkan ulah-laku kebatinannya yang dibahasakan sebagai
“spiritualitas” antara manusia dan Tuhan melalui alam semesta.
Arah atau
kiblat menjadi pertimbangan penting dalam menentukan tempat sarana puja.
Semisal arah tempat meditasi menghadap ke Timur, sedangkan pelaku meditasinya
menghadap ke Barat (Kiblat arah Barat), yang disimbolkan akan pentingnya
manusia membangun kehidupan dan kesejahteraan yang seimbang dengan spiritual.
Sedangkan Utara adalah dimensi kesuburan alam semesta dengan kesuburan
pertanian, Arah Timur yaitu ekonomi perdagangan, sedangkan arah selatan adalah
sosial dengan bentangan alam yang hijau seraya memberikan kesan ketentraman dan
kedamaian.
Salah satu
tempat yang dianggap mampu meng hubungkan energi spiritual adalah di “Bumi
Sambhara Budhara”. Banyak orang menengarai bahwa nama asli Borobudur ialah Bumi
Sambhara Budhara yang diambil dari Bahasa Sansekerta yang diartikan
sebagai bukit himpunan kebacikan sepuluh tingkatan bodhisatwa. Sedangkan
Borobudur dari kata “boro dan bedhuhur” boro diartikan sebagai
vihara dan bedhuhur ialah tempat yang tinggi.
Terlepas
kebenaran dari asal usul penamaan Borobudur saya yakin bahwa sebelum Borobudur
di bangun oleh Raja Wangsa Syailedra, ditempat itu sudah ada masyarakat Jawa
yang tinggal dan menjalani kehidup an dengan menganut kepercayaan “kapitayan”.
Oleh karena
itu ungkapan-ungkapan pada relief Candi Borobudur mempunyai hubungan erat
dengan kehidupan masyarakat Jawa Kuno, Hal tersebut terbukti pada panel relief
yang menunjukkan aktifitas keseharian manusia dengan lingkungan alam, salah
satu contohnya adalah aktifitas masyarakat petani lengkap dengan peng gambaran
lumbung padinya. Kesejahteraan masyarakat di zaman itu dilukiskan melalui batu
pahatan. Pemahat mengekpresikan/menyampaikan
pesan-pesan dalam simbol simbol, seraya memberikan panduan-panduan
tentang sejarah kehidupannya di masa lalu dan yang sedang dihadapinya.
Bentuk
bangunan Candi Borobudur melambangkan alam semesta dalam kosmologi Budha
Mahayana. Alam semesta dibagi menjadi tiga tingkatan Kamadhatu, Rupadhatu dan
Arupadhatu. Kamadhatu disebut juga sebagai Karmawibangga yang reliefnya
menceritakan tentang hukum karma (sebab-akibat). Pada tingkatan Rupadhatu - Arupadhatu
sudah tidak ada lagi relief, tetapi adanya
stupa yang menggambarkan prilaku manusia yang sudah mulai meninggalkan
keinginan duniawi.
Kamadhatu
atau Karma Wibangga berasal dari Bahasa Sansekerta yang mengandung makna,
yaitu: “Karma adalah perbuatan sedangkan Wibangga adalah bhanga atau candu”
Karmawibhangga berarti perbuatan yang merusak atau perbuatan buruk. Kamadhatu
meng gambarkan perilaku manusia ketika lahir menjalani proses kehidupan yang
tidak akan lepas dari nafsu baik dan buruk Rupadhatu berasal dari kata “Rupa”
atau bentuk, berarti perjalanan kehidupan manusia telah mulai meninggalkan
bentuk yang bersifat keduniawian. Arupadhatu artinya bahwa perjalanan kehidupan
manusia sudah meninggalkan bentuk keduniawian menuju ke alam “Nirwana”.
Sejarah
memberikan panduan keterkaitan, benang merah antara masa kini dengan masa lalu melalui
jendela-jendela yang berupa naskah-naskah kuna maupun relief pahatan batu yang
memberikan informasi tentang kehidupan masyarakat sekitar Borobudur di masa
lalu. Naskah-naskah kuna yang ditulis oleh para “Pujangga” seperti
primbon, candrasengkala, serat babad dan Seterus nya sangat membantu dalam
memaknai simbol-simbol sebagai pesan yang harus disampaikan kepada generasi
mendatang.
Pemaknaan
sebagai pesan melalui simbol-simbol yang ditorehkan pada relief batu pahatan
mempunyai arti filosofi sebagai ungkapan pengetahuan kehidupan di zaman itu.Selanjutnya untuk
mengetahui makna yang dilukiskan pada dinding-dinding Candi Borobudur harus
dibaca ke arah sesuai arah jarum jam yang dikenal dengan istilah pradaksina.
Pradaksina
merupakan bentuk penghormatan yang dilakukan dengan berjalan mengitari Candi
Borobudur dilakukan secara bersama. Sambil berjalan dengan sikap tangan “Anjali” sebanyak tiga kali putaran
sambil membaca do’a terus berjalan searah jarum jam diartikan sebagai
laku yang memunculkan nilai luhur dalam bathin kita. Nilai kesabaran,
keikhlasan, ketulusan dan semua perbuatan baik yang senantiasa dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari.
Borobudur
menjadi sebuah tempat pemujaan atau tempat untuk mencari pencerahan juga
sebagai tempat belajar ilmu kehidupan yang terletak di dataran tinggi atau
punden berundak yang ada ditengah-tengah danau.
Keagungan Borobudur
tidak hanya tercermin dari kemegahan, keindahan, keunikan arsitektur
bangunannya semata. Tetapi dari sisi tempat keberadaan Borobudur sudah sangat
mempengaruhi bahwa tempat tersebut adalah tempat yang sakral. Punden berundak
yang berada di tengah Danau juga menjelaskan bahwa tempat itu adalah tempat
yang “suci”. Tempat yang diyakini dapat menghubungkan energi
spiritualitas manusia, alam dan Tuhannya.
Borobudur
dipahami sebagai sebuah Maha-nya
kitab dari batu berundak yang menyaji kan ajaran - ajaran kehidupan manusia.
Kitab kehidupan terlukis secara visual
yang universal dan dapat pelajari oleh semua orang tidak dibatasi suku,
ras, golongan, atau agama. Kitab kehidupan yang tidak akan pernah berubah dalam
ketentuan waktu.
Candi Borobudur juga telah menjadi sebuah karya cipta yang menghasilkan
monumen Buddhis terbesar di dunia dalam bentuk mandala dan stupa sebagai
mahkotanya. Mandala yang melambangkan kosmologi alam semesta yang didindingnya
terdapat pahatan relief di setiap tingkatannya. Stupa utama yang dikelilingi
oleh 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca Budha. Selain itu
pendirian candi-candi lain disekeliling nya sebagai prasasti sosial,seperti
Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Ngawen, Candi Selogriya sebagai cermin proses
kehidupan manusia masa lampau. Konsep kehidupan manusia masa lampau untuk
menuju keselarasan antara sesama manusia, alam dan Tuhan hingga menuju
pencerahan. Konsep kehidupan manusia
masa lampau menjadi bukti betapa pentingnya kerukunan dan toleransi.
Di balik hadirnya suatu karya besar-prestasi yang hebat, pastilah ada
orang-orang yang hebat dan kuat, Dinasti yang hebat dan kuat serta tata kelola
manajemen yang berkualitas dan terpadu. Manajemen yang mampu mengakomodasi dan
mengkoordinir potensi sumber daya manusia, sumber daya alam serta sumber daya
ekonomi yang memadai. Keseluruhan sumber daya tersebut terintegrasi dan
bersinergi secara komprehensif dalam satu gerakan dengan langkah yang seirama
dan selaras. Seluruh program kerja terkoordinasi oleh pemimpin yang
professional yang mampu mempengaruhi dan menggerak kan orang yang dipimpinnya
untuk mencapai tujuan.
Candi-candi dan situs pusaka dengan seni, tata ruang, kosmologi, dan
mitosnya menyimpan makna, sejarah dan dimensi yang sangat bernilai. Keberadaan
candi dan situs sosial merupakan hasil dari tradisi dan budaya yang diartikan
sebagai prasasti sosial yang dihasilkan melalui proses yang begitu panjang yang
melibatkan berbagai pengetahuan budaya dan kepekaan masyarakat terhadap suatu
lingkungannya. Situs-situs bersejarah juga mampu menjadi sumber untuk belajar
dan mengalami berbagai sifat-sifat tata ruang, waktu dan kondisi yang sekaligus
dapat menjadi sumber inspirasi kreatif di zamannya. Oleh sebab itu candi-candi
dan situs pusaka tentunya menjadi kekayaan budaya yang mengandung berbagai
nilai filsafat, pengetahuan, adat istiadat,kearifan lokal,serta prilaku
masyarakat masa lalu.
Demikian halnya dengan penamaan suatu tempat suci,penamaan tempat-tempat
tersebut sangat diperhitung kan sebagai tempat yang
dapat menghubungkan manusia, alam dan Tuhan serta efek-efek cahaya, musim,
maupun sosial-ekonomi. Seperti
Candi Mendut yang berasal dari nama Venu Vana Mandira yang artinya
candi di tengah rumpun bambu. Candi Pawon juga
memiliki nama lain yaitu Candi Bajranala
atau Vajranala dimana kata ini berasal dari dua kata yaitu kata vajra
yang bermakna halilintar dalam bahasa Sansekerta, dan kata nala yang
artinya api.
Demikian
halnya dengan penamaan
dusun, desa, grumbul, hingga nama daerah setingkat kecamatan sebagai
simbol prasasti sosial sangat diperhitungkan keberadaannya. Semisal nama Dusun
Bumi Segoro berasal dari kata Bumi Sambhara Budhara, Sayangnya penamaan Dusun/Desa yang ada disekitar kawasan
Borobudur tersebut hingga kini masih misteri, masih jarang disentuh dan dikaji asal-usul
penamaannya dari pemahaman budaya masyarakat atau alam sekitarnya. Menurut saya penamaan
tempat-tempat tersebut dapat dijadikan motivasi dan referensi dalam rangka
membangun budaya Jawa Nusantara di masa
mendatang juga usaha pengembangan dunia pariwisata yang saat ini sedang
mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah.
Penamaan
Dusun/Desa yang telah ada kadang malah dikaburkan, hanya karena kepentingan
sesaat. Semisal nama Dusun Brojonalan, karena Dusun tersebut telah menjadi
binaan dari salah satu program pember dayaan yang dilakukan oleh BUMN kemudian
disitir menjadi Kampoeng BNI. Padahal sebelumnya nama Dusun tersebut telah ada
yang diambil dari referensi sejarah pendirian candi yang terletak di Dusunnya.
Dimana pemikiran dan sikap tersebut telah menjadi salah kaprah.
Semestinya penamaan dusun/desa tersebut dapat diambil semisal, melalui
pengetahuan ekologi tradisional (pranata mangsa Bahasa Jawa) yang sangat pantas
untuk dikaji/ dianalisa. Hingga masyarakat lokal merasa untuk memiliki candi-candi yang ada di
sekitarnya. Meski kehidupan sosial manusia sekitar Candi Borobudur dan
candi-candi sekitarnya berkaitan erat dengan relasi alam dimana mereka tinggal
dan hidup yaitu alam pertanian dan pegunungan. Selain itu masyarakat sekitar
candi satu sama lain berinteraksi dengan tradisi Jawa yang melekat pada
kehidupan mereka. Sebagai orang Jawa dan berkebudayaan Jawa, semestinya kita
bangga dengan budaya Jawa dan menjunjung tinggi identitas/ jati diri Jawa.
إرسال تعليق